Pengakuan , Yuridiksi, dan tanggung jawab Negara Pengakuan Negara


Nama : Redha Alfian
NIM : 1001120325
Mata Kuliah : Hukum Internasional

Pengakuan , Yuridiksi, dan tanggung jawab Negara
Pengakuan Negara

Ada dua teori yang relevan terutama pengakuan, konstitutif dan deklaratoir. Teori konstitutif menyatakan bahwa Negara dan pemerintah tidak secara hukum ada sampai diakui oleh masyarakat internasional dan teori deklaratoir mengadopsi bahwa Negara dan pemerintah mendapatkan dalam kepribadian internasional ketika mereka datang ke dalam keberadaan. Menurut teori konstitutif, penciptaan sebuah Negara baru tergantung pada penerimaan Negara yang hadir. Negara baru akan memiliki hak dan kewajiban pada saat yang diakui. Namun, teori ini memiliki beberapa pertanyaan, seperti apa yang akan terjadi jika beberapa Negara mengakui ada yang baru dan yang lain tidak? Dan bagaimana hal itu bisa mungkin untuk dimasukkan ke dalam memaksa beberapa menahan, seperti larangan agresi, terhadap yang Negara tidak diakui?
Teori deklaratoir mengklaim bahwa Negara akan terbentuk bebas dari persetujuan dari Negara lain, hanya setelah ia memenuhi persyaratan internasional. Ini Pendekatan yang ditetapkan dalam kalimat pertama dari Pasal 3 Konvensi Montevideo (1933), "Keberadaan politik negara adalah independen dari pengakuan oleh yang lain menyatakan. "Teori deklaratoir tampaknya lebih memadai untuk praktek dari yang lain. Sejak pengakuan memiliki sisi politik, dalam prakteknya Amerika lebih memilih jalan tengah antara doktrin kedua, di samping kualifikasi klasik untuk mencari beberapa dasar
persyaratan hukum internasional untuk pengakuan. Di masa lalu, itu cukup untuk Negara untuk memenuhi empat kriteria. Pada tahun 1930 beberapa Negara juga mencari bahwa suatu Negara baru harus mematuhi beberapa standar fundamental dari masyarakat internasional.
Sebagai contoh, dalam Deklarasi Masyarakat Eropa pada "Pedoman Pengakuan baru Amerika di Eropa Timur dan Uni Soviet "itu menunjukkan bahwa "'Mengadopsi Masyarakat dan anggota negaranya posisi umum pada proses pengakuan dari Amerika baru, yang membutuhkan:
  • Menghormati ketentuan-ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komitmen berlangganan dalam UU Final Helsinki dan dalam Piagam Paris, khususnya yang berkaitan dengan aturan hak hukum, demokrasi dan manusia;
  • Jaminan untuk hak-hak kelompok etnis dan nasional dan minoritas di sesuai dengan komitmen berlangganan dalam rangka CSCE yang
  • Menghormati diganggu gugat semua perbatasan yang hanya dapat diubah dengan damai berarti dan dengan kesepakatan umum; Penerimaan dari semua komitmen yang relevan berkaitan dengan perlucutan senjata dan nuklir non-proliferasi serta keamanan dan stabilitas regional;
  • Komitmen untuk menyelesaikan dengan kesepakatan, termasuk bila sesuai dengan jalan lain untuk arbitrase, semua pertanyaan tentang suksesi Negara dan perselisihan regional

Yurisdiksi
Yurisdiksi” berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti : kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum, hak menurut hukum, kekuasaan menurut hukum, dan kewenangan menurut hukum. Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”.
Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (Csabi, 1971).
Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (Buana, 2007), dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum, par in parem non habet imperium”.
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.
Menurut Adolf, berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi sebagai berikut:
  1. Yurisdiksi Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).
  2. Yurisdiksi Eksekutif, yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain.
  3. Yurisdiksi Yudikatif, yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.
Sementara berdasarkan kedudukan negara dalam hukum internasional, yurisdiksi dapat dibedakan menjadi:
1. Yurisdiksi teritorial. Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat (Starke, 1984).
  1. Yurisdiksi Personal. Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal (Starke, 1984).
  2. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan. Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.
  3. Prinsip Yurisdiksi Universal. Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).
  4. Organisasi Internasional. Dalam suatu negara, organisasi internasional memiliki kekebalan tertentu terhadap yurisdiksi negara setempat. Kekebalan ini dipandang perlu untuk melaksanakan tujuan-tujuan dari organisasi internasional. Namun sampai sejauh mana oraganisasi internasional itu menikmati kekebalan menurut hukum (kebiasaan) internasional masih belum ada kejelasan. Dalam praktek, kekebalan ini biasanya diatur oleh suatu perjanjian internasional.


Tanggung jawab Negara
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.
Perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional
Artikel menentukan bahwa setiap tindakan atau perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional melahirkan pertanggungjawaban internasional negara yang bersangkutan. Perbuatan tersebut dikatakan salah hanya jika:
a) berdasarkan hukum internasional ia dapat diatribusikan kepada negara itu, dan
b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional.
Namun Artikel tidak memberi pembatasan kapan suatu negara melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Hal itu ditentukan melalui penerapan sumber-sumber ketentuan primer (ketentuan perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum internasional lainnya). Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap pertanggungjawaban organisasi internasional dan individu atau orang-perorangan.
Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara
Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara atau pemerintah atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apa pun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara.  Juga termasuk di dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak diklasifikan demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.
Bahkan tindakan seseorang atau sekelompok orang yang tidak merupakan tindakan pemerintah pun dapat dianggap sebagai tindakan negara jika orang atau kelompok orang itu bertindak berdasarkan perintah negara atau berada di bawah perintah atau pengawasan negara. Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab atas tindakan sekelompok orang yang, misalnya, melakukan teror berdasarkan perintah negara itu. Juga, suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara akan dapat diatribusikan kepada negara jika negara tersebut mengakui dan menerima tindakan tersebut sebagai tindakannya. Namun, dalam hubungan ini, jika sekadar berupa pernyataan dukungan yang dinyatakan oleh suatu negara tidak cukup untuk menyatakan perbuatan itu diatribusikan kepada negara tersebut.
Keadaan-keadaan yang menghapuskan kesalahan
Terdapat beberapa hal lain yang dapat membebaskan suatu negara dari kesalahan, yaitu jika perbuatan itu dilakukan karena keadaan terpaksa (force majeure), atau jika pelaku tidak mempunyai pilihan lain yang masuk akal, dalam keadaan tertekan (distress), guna menyelamatkan hidupnya atau pihak lain yang berada di bawah pengawasannya. Yang juga dapat membebaskan negara dari kesalahan adalah jika tindakan yang dilakukan itu merupakan keharusan (necessity). Hal ini bisa terjadi dalam hal adanya pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara kepentingan mendasar suatu negara dan kewajiban internasional negara itu. Oleh karenanya, dalil necessity ini rentan terhadap kemungkinan penyalahgunaan. Untuk menghindari penyalahgunaan itulah Artikel menentukan bahwa dalil necessity baru dapat diterima sepanjang: (a) hal itu merupakan satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan kepentingan esensial suatu negara dari bahaya besar dan segera terjadi (grave and imminent peril), (b) tidak menimbulkan gangguan serius terhadap kepentingan esensial negara yang terikat oleh kewajiban internasional itu atau masyarakat internasional secara keseluruhan.
Isi pertanggungjawaban internasional suatu negara
Negara yang dipertanggungjawabkan karena melakukan kesalahan menurut hukum internasional berkewajiban untuk melakukan perbaikan penuh atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Kerugian itu mencakup kerugian material maupun moral. Bentuk atau jenis perbaikan (reparation) itu mencakup restitusi (restitution), kompensasi (compensation), dan pemenuhan (satisfaction).
Tindakan balasan
Negara yang menderita kerugian karena perbuatan negara lain diperbolehkan melakukan tindakan balasan yakni berupa tindakan tidak melaksanakan kewajiban internasional tertentu dalam hubungan dengan negara yang melakukan pelanggaran namun semata-mata dengan tujuan agar negara yang melakukan pelanggaran itu berhenti melakukan pelanggaran dan melakukan perbaikan penuh. Namun tindakan balasan ini mengandung bahaya atau risiko yaitu jika ternyata terbukti bahwa justru tindakan negara yang mulanya dianggap melanggar itu adalah tindakan yang sah menurut hukum internasional maka tindakan balasan itulah yang menjadi tindakan yang tidak sah. Di samping itu, harus dibedakan pengertian tindakan balasan dalam rangka tanggung jawab negara ini dan pembalasan (reprisal) yang dikenal dalam hukum yang berlaku dalam sengketa bersenjata atau hukum humaniter, juga berbeda dengan tindakan penjatuhan sanksi, penghentian atau pengakhiran suatu perjanjian. Countermeasures ini lazimnya terjadi dalam konteks bilateral.
Simpulan
Negara sebagai sebuah subjek hukum juga menjadi seperti seorang individual, ia harus mendapat pengakuan oleh negara lain untuk memiliki sebuah kedaulatan, menjadi subyek bagi hukum Internasional dan tentunya harus mematuhi hukum-hukum tersebut jika melanggarnya.

Daftar Pustaka
Buana, Mirza S. 2007. Hukum Internasional Teori dan Praktek. Bandung : Penerbit Nusamedia
Csabafi, Anthony. 1971. The Concept of State Jurisdiction in International Space Law. The Hague
Starke, JG. 1984. Introduction to International Law. London : Butterwort

No comments:

Post a Comment