paper SOSIOLOGI POLITIK SEBAGAI PARAMETER POWER


SOSIOLOGI POLITIK SEBAGAI PARAMETER POWER
PENDAHULUAN
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Sedangkan politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Jadi sosiologi politik adalah Upaya untuk memahami dan campur tangan kedalam hubungan yang selalu berubah antara social politik.
Secara umum sosiologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari problematika kehidupan bermasyarakat, yang berupa kajian atas struktur dan realisasi sosial. Dewasa ini, sosiologi mengalami “Persetubuhan” dengan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya dengan menambahkan kata sosiologi, misalnya sosiologi politik, sosiologi agama, sosiologi lingkungan. sosiologi perkotaan, sosiologi wanita dan pria, sosiologi pendidikan, sosiologi hukum, sosiologi ekonomi, dan masih banyak cabang lainnya yang akan terus berkembang sesuai dengan perputaran peradaban
PEMBAHASAN
  1. Konsep Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
  1. Konsep politik
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Politik juga merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya Dalila negara.
  1. Sosiologi Politik
. Dalam aspek politik, ilmu politik sering dimaknai sebagai kajian dalam aspek kekuasaan. Hal serupa dalam sosiologi khususnya dalam perspektif struktural fungsional, dunia politik identik dengan kekuasaan. Dalam perspektif masyarakat awam, politik lebih condong diarahkan ke dalam makna negatif, seperti: haus akan kekuasaan, hal yang kotor, banyak intrik dan ada juga yang melihat politik itu hanya untuk menyalurkan libido kepentingan, ketiga perspektif ini dapat disatukan dalam suatu kajian atau subdisiplin ilmu sosial yang disebut sosiologi politik. Sosiologi politik berusaha menghubungkan ketiganya di dalam suatu wilayah kajian..
sosiologi politik adalah subdisiplin yang menempati wilayah kajian yang mejembatani disiplin sosiologi dan ilmu politik. Ruang jembatan tersebut dalam garis besar dapat berupa persentuhan dalam hal teori, konsep, pendekatan maupun metodologi yang digunakan.
Setidaknya ada dua pandangan tentang sosiologi politik yang cukup menonjol. Pandangan yang satu melihat sosiologi politik sebagai studi tentang negara. Sedangkan pandangan yang lain menjelaskan sosiologi politik sebagai studi tentang kekuasaan
  1. Sosiologi Politik sebagai studi tentang kekuasaan
Menurut pengertian yang lebih modern, sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat nasional. Konsep ini pada dasarnya, memfokuskan pada perbedaaan antara pemerintah dan yang diperintah.
Kekuasaan memungkinkan kelompok-kelompok dan individu yang berkuasa mempertahankan dominasi terhadap masyarakat dan mengeksploitasinya. Sedangkan kelompok dan individu yag lain menentang dominasi dan tidak eksploitatif tersebut. Di sini politik merupakan sarana untuk mempertahankan hak-hak istimewa kelompok minoritas dari dominasi kelompok mayoritas. Di lain pihak, politik dipandang sebagian suatu usaha untuk mengakkan ketertiban dan keadilan. Disini kekuasaan dipakai untuk mewujudkan kemakmuran bersama dan melindungi kepentingan umum dari tekanan kelompok-kelompok tertentu.  Politik merupakan sarana untuk mengintegrasikan setiap orang ke dalam komunitas dan menciptakan keadilan seperti yang dicta-citakan oleh Aristoteles.
Di dalam kenyataan, apa yang disebut politik itu senantiasa ambivalen. Di satu sisi, kekuasaaan dijadikan alat untuk mendominasi orang atau pihak lain. Di sisi yang lain, kekuasaan dijadikan sarana untuk menjamin ketertiban sosial tertentu atau sebagai alat pemersatu. Kedua paham ini merupakan dasar teoritis bagi pembicaraan tentang sosiologi politik. Namun perlu dicatat, bahwa tidak ada suatu teori umum tentang sosiologi politik yang dapat diterima oleh semua sarjana terkait.  Oleh karena itu merumuskan teori umum tentang sosiologi politik merupakan tantangan sekaligus peluang bagi sarjana sosiologi politik kontemporer.
2. Sudut Pandang Sosiologi Politik.
Ada berbagai dipergunakan cara pendekatan histeris, pendekatan komparatif, institusional, dan pendekatan histories, pendekatan komparatif, instituusional, dan pendekatan behavioral.
  1. pendekatan histories
kita berusaha mencari karya para ahli sosiologi politik klasik untuk menemukan konsern-konsern dan minat-minat tradisional dari sosiologi politik sebagai suatu dsiplin intelektual. Dengan kata lain, pendekatan ini memberikan suatu perspektif yang diperlukan bagi studi-studi yang sama, baik dalam pengertian kontekstual maupun temporal.
  1. pendekatan komparatif
kita mempelajari gejala-gejala sosial politik dari suatu masyarakat tertentu untuk menyoroti fenomena yang kita hadapi.
  1. pendekatan institusional.
pendekatan ini mengkonsentrasikan diri pada faktor-faktor konstitusional dan legalistik. Dengan kata lain, institusi-institusi sosial atau lembaga-lembaga sosial merupakan unit dasar analisis.
  1. Pendekatan behavioral
Pendekatan ini menggunakan individu sebagai dasar dari analisis. Di sini fakta dan nilai dipisahkan, dan orang membuat generalisasi berdasarkan prinsip verifikasi.
  1. pendekatan fungsional (fungsionalisme-struktural)
Menurut pandangan ini struktur-struktur sosial yang menentukan peranan-peranan dengan pola-pola perilaku yang tetap, yang oleh masyarakat diharapkan dari seorang dokter, politisi, petani, ibu rumah tangga, orang beragama, warga negara, dan sebagainya.
  1. Pendekatan kuantitatif.
Termasuk di sini penggunaan survei-survei statistik dan pengumpulan-pengumpulan data, seperti yang digunakan pada studi-studi tentang ekologi politik. Para ahli sosiologi politik berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan wawasan melalui survei-survei dan wawancara intensif.
Penggunaan teori-teori dan model-model tentu saja sangat diperlukan untuk memperoleh garis-garis pedoman bagi penelitian dan untuk menghasilkan penjelasan-penjelasan yang memadai tentang gejala-gejala atau masalah – masalah yang sedang dipelajari.
KESIMPULAN
Sosiologi politik mempelajari mata rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik dan antara tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik. Semakin baik Sosiologi politik suatu Negara maka semakin baik pula tingkat kualitas power Negara tersebut.


























DAFTAR PUSTAKA
















































TUGAS KE 8

SOSIOLOGI POLITIK SEBAGAI PARAMETER POWER





REDHA ALFIAN
1001120325


PENGANTAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
KELAS A


JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2011

































paper MILITER SEBAGAI PARAMETER POWER


MILITER SEBAGAI PARAMETER POWER
PENDAHULUAN
Negara-bangsa merupakan anonym dari konsep sosiologi yang memandang manusia sebagai makhluk social. Dalam konsep itu, asa saling ketergantungan, saling membutuhkan antara manusia satu dengan yang lain, tetapi tidak jarang juga ada konflik yang terjadi diantara mereka. Thomas Hobbes menggambarakan manusia dalam keadaan Bellum omnium contra omnes atau “war of every man against every man” atau dalam bahasa Indonesia berarti peperangan dari setiap manusia melawan manusia. Disamping itu, Amin Rais juga mengemukakan bahwa dalam keadaan seperti itu setiap manusia mengutamakan keselamatannya sendiri dengan jalan memperbesar kekuasaan dengan saling mengalahkan.
PEMBAHASAN
  1. Perang dan politik internasional
Berbicara tentang perang, orang memandang sebagai fenomena yang umurnya setua umur manusia. Mortpn dan mohtar mas’oed menyatakan, bahwa persaingan adalah perlu, kekuasaan harus dikejar, jangan dijauhi, kekerasan dan perang diterima sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan, halini menyiratkan bhawa kekerasan dan perang selalu bergandengan dalam politik (politik internasional) dengan karakternya struggle for power.
Von Clusewitz mengatakan bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dictum ini diperkuat bahwa hakekat Negara adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identik dengan politik perjuangan.
Perang saat ini tentu berbeda dengan zamannya sun Tsu tetapi hakekat perang tetap sama. Berbagai instrument pendukung perang tentu sesuai dengan zamannya, dan penyiapan semuanya berarti untuk berperang tetapi mewaspadai perang sangatlah berarti. Bahkan Thomas Hobbes yakin bahwa perang tidak dapat dihindari. Amin Rais menyatakan bahwa perdamaian dunia merupakan perdamaian yang tidak stabil. Hal itu member indikasi bahwa perdamaian abadi dalam politik internasional adalah semu.
Sejarah perang memberikan fakta bagaimana kekuatan militer suatu Negara dengan dukungan berbagai fasilitas/peralatan militer maupun member keunggulan dan menguntungkan walaupunitu jauh lebih merugikan disbanding tidak dalam keadaan berperang.
Perang masih terlalu sering dipakai untuk menyelesaikan konflik kepentingan. Upaya nyata untuk menghindari perang misalnya dalam pembentukan Liga Bangsa-bangsa setelha perang dunia I. walaupun demikian ternyata perang dunia II lebih dahsyat dan tidak dapat dihindari, dan itu muncul dalam selang waktu 20 tahun setelah perang dunia I. upaya mewujudkan perdamaian dunia kembali muncul dengan lahirnya Perserikatan Bangsa-bangsa. Lahirnya lembaga ini dengan maksud agar setiap konflik internasional dapat terselesaikan dengan jalan damai melalui mekanisme nya.
  1. Gambaran kekuatan militer bagi suatu bangsa
Dari gambaran kaum realitas, perang memang tidak dapat dihindari, Negara tidak mampu untuk berkelit dari realita itu. Pembangunan kekuatan militer bagi suatu Negara tidak berarti Negara mempersiapkan diri untuk berperang. Pembangunan itu akan dapat juga berarti dalam upaya mewaspadai perang. Dengan kata lain bahwa dengan pembangunan kekuatan militernya suatu Negara akan menjadi suatu actor yang dapat mengeliminir kondisi perang; dapat membuat actor (Negara) lain segan atau terhitung sekian kali memakai kekerasan. Walau harus diakui bahwa hal ini akan menimbulkan “security dilemma”, security dilemma akan dapat terhindar dari ambang perang apabila actor Negara tetap mempertahankan citra positif dalam fostur defensive.
Disamping itu, perlu juga diketengahi disini, bahwa penentu perang bukanlah semata-mata karena kekuatan militer tetapi banyak factor lain yang terintegrasi didalamnya, sehingga kekuatan militer hanya merupakan salah satu factor dalam pembangunan kekuatan/power Negara.
Dari uraian diatas maka dapat dikemukakan, bahwa pembangunan kekuatan militer amat penting bagi suatu Negara. Ada beberapa alas an yang dapat dikemukakan untuk itu, yakni, :
  1. Bahwa pembangunan kekuatan militer pada dasarnya bukan semata-mata sebagai suatu persiapan perang. Tetapi untuk kepentinganyang bersifat defentif atau pertahanan keamanan terhadap berbagai komponen dalam Negara untuk tetap terjaminnya rasa keamanan kehidupan entitas Negara. Yang dimaksud disini adalah dalam kerangka menciptakan suatu rasa aman dan terjami terhadap semua komponen dalam Negara. Hal ini penting untuk upaya perwujudan cita-cita nasional, karena Negara pada dasarnya memiliki tugas dan tanggung jawab menjaga keamanan Negara nya, disamping menjamin kesejahteraan warga Negara nya.
  2. Pembangunan kekuatan militer juga merupakan strategi penangkalan. Maksudnya untuk membuat pihak lain tidak melakukan suatu serangan karena merasa segan terhadap kekuatan militer yang ia perkirakan sebagai dampak pembangunan kekuatan militer.
  3. Memiliki motivasi kedepan, dalam pengertian, bahwa dengan kekuatan militer dapat memupuk rasa kepercayaan diri yang tinggi bagi warganya terhadap pemimpim dan negaranya.
  4. Mempengaruhi kekuatan militer suatu Negara. Yakni dalam pengertian kemampuan Negara untuk memaksa, mempengaruhi serta membujuk suatu actor untuk melakukan hal-hal yang diinginkan.
Dengan demikian, pembangunan kekuatan militer suatu Negara memiliki suatu aspek yang perlu diperhitungkan oleh actor lainnya.
  1. Hakekat kekuatan militer
Amat sulit menentukan kekuatan militer: umumnya akan ada suatu pseudo dalam hal ini, karena Negara dan militer terpisah. Namun ada dua klasifikasi umum kekuatan militer:
  1. Ukuran obyektif : menyangkut kemampuan tempur, jumlah dan keterampilan personal, jumlah dan kemampuan peralatan.
  2. Ukuran subyektif : menyangkut persepsi aktor tersebut terhadap kemampuan militer suatu Negara.
Kesimpulan
Power suatu negara dapat diukur melalui kekuatan militernya, Kekuatan negara dan kekuatan militer memiliki korelasi yang sangat erat mengingat militer adalah salah satu factor pembuat utopis Negara lain, sehingga perlu adanya suatu militer baik untuk berjaga-jaga dan bahkan sebagai alat penentu kepentingan nasional.


Daftar Pustaka
Amin Rais(1989), politik internasional dewasa ini, Surabaya : PT Usaha Nasional
Careton Clyner Radel,e et. Al. (1995) pengantar ilmu politik(terj), Jakarta : Rajawali grafindo persada
Muhadi Sugionno (1997), kekuatan militer, Yogyakarta : UGM
























TUGAS KE 8

MILITER SEBAGAI PARAMETER POWER




REDHA ALFIAN
10011200325


PENGANTAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
KELAS A


JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2011

POWER DAN KAPABILITAS NEGARA-BANGSA


Tugas 6
PENGANTAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
POWER DAN KAPABILITAS NEGARA-BANGSA












OLEH :
REDHA ALFIAN
1001120325

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS RIAU
2011
Pendahuluan
Salah satu masalah penting yang sering diperdebatkan adalah, apakah power dipandang sebagai atribut perseorangan, kelompok atau Negara bangsa, atau yang memiliki keinginan-keinginan yang berbeda atau independen. Sebagai contoh, apakah power merupakan suatu karakteristik Negara yang bisa diukur seperti output ekonomi, jumlah populasi, dan kekuatan militer? Ataukah, power merupakan sekumpulan hubungan manusia yang tidak kentara dan selalu berubah, atau yang terkandung didalam kombinasi antara kekuatan, reputasi dan keahlian yang bersifat manipulative?. Pada paper ini akan dibahas tentang power dan sekaligus menjelaskan tentang kapabilitas suatu negara
Pengoperasionalkan Defenisi Power
Negara seperti Belgia akan “lemah” jika dibandingkan dengan Amerika serikat, tapi dia termasuk “kuat” jika dibandingkan dengan Luxemburg yang “kecil”. Ini adalah masalah yang berkaitan dengan kekerasan (militerisme, ekonomi, dan psikologis) bisa dianggap sebagai sentral power.
Untuk memahami konsep power ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama, dengan menganggapnya sebagai hubungan diantara keinginan-keinginan yang independen. Dan yang lainnya adalah dengan mengonsentrasikan perhatian pada atribut-atribut spesifikasinya yang bias diukur.
Power memiliki tiga unsur;
  1. Unsur kekuatan (Force)
Yang bisa diungkapkan sebagai ancaman eksplisit seperti militer, ekonomi, dan lain-lain.
  1. Pengaruh (influence)
Penggunaan ala-alat persuasi, lobi-lobi dan diplomasi.
  1. Kekuatan (authority)
Otoritas suatu bangsa.
Kadang kapabilitas digunakan oleh para sarjana sebagai sinonim dari konsep power. Tetapi disisi lain kapabilitas dapat artikan sebagai atribut-atribut Negara bangsa ( atau actor-aktor politik lainnya) yang nyata terlihat dan yang tidak nyata terlihat sehingga para actor mampu melakukan berbagai tingkat power.Kebanyakan para sarjana menganggap Power sebagai alat ialah, kemampuan untuk mengontrol perilaku orang lain utnuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Ruang lingkup Power (Scope of Power)
Dengan menggunakan ruang lingkup power, Deutch ingin menunjukan “ kumpulan atau koleksi semua perilaku klas-klas tertentu, hubungan-hubungan dan pergaulan yang secara efektif kepada power perintah.kumpulan atau koleksi tersebut meliputi semua jenis aktifitas perintah yang berusaha mengatur bidang eksternal dan internal. Jelaslah bahwa scope pemerintah semakin lama akan semakin meluas.
Ruang lingkup power juga dibagi menjadi eksternal dan internal. Contoh power dalam arti internal ialah grafik anggaran belanja pemerintah dan organisasi pemerintah. Sementara ruang lingkup power eksternal juga mengikat selama ini. Hubungan-hubungan yang secara alami dikendalikan, dengan menunjukan keunggulan-keunggulan dengan Negara tetangga. Seperti ekonomi dan militer.
Profil Power Negara dan Bangsa
Power-power setiap bangsa dan Negara memiliki pengertian yang masih cukup luas. Tetapi dengan mengelompokanya, kita dapat mengidentifikasi dan lebih mudah untuk dimengerti. Ada dua elemen yang mempengaruhi sebuah power yang dimiliki oleh suatu Negara-bangsa;
  1. Elemen power yang nyata
  1. Populasi (penduduk)
Pengertian bahwa masyarakat dapat dihitung. Secara langsung,hubungan antara jumlah masyarakat dan power tidak ada, tetapi kualitas masyarakatlah yang sangat mempengaruhi.
  1. Territorial (wilayah)
Wilayah yang strategis juga mempengaruhi power dari sebuah Negara.
  1. Sumber daya alam dan kapasitas industry
Kemampuan sumber daya suatu Negara akan mempengaruhi, seperti barang tambang dan sumber daya alam yang lainnya.
  1. Kapasitas pertanian
Ini juga power yang nyata, Negara yang swasembada, khususnya dalam yang berlarut-larut-, relative lebih kuat ketimbang Negara yang tidak swasembada.
  1. Kekuatan militer dan mobilitas
Militer ialah power dominan yang sangat berpengaruh karena power didukung oleh kekuatan militer. Sementara mobilitas dapat dapat diukur menurut anggaran yang dikeluarkan untuk tujuan-tujuan pertahanan dan keamanan.

  1. Elemen power yang tidak nyata
  1. Kepemimpinan dan kepribadian
Tak perlu diragukan bahwa kemampuan seorang pemimpin yang tangguh membantu membentu sebuah kekuatan yang sangat berpengaruh. Contoh, Ir Soekarno, Kennedy dll.
  1. Effesiensi Organisasi dan Birokrasi
Salah satu elemen power yang paling sukar diukur ialah efisiensi organisasi besar dan kompleksitas birokrasi.
  1. Tipe pemerintahan
Masalah yang paling sulit dan belum terjawab dalam ilmu politik adalah berkaitan dengan hubungan antara tipe pemerintahan dengan power nasional.
  1. Persatuan masyarakat (Society Cohesiveness)
Ini adalah elemen power yang beragam dan tidak nyata. Banyak dari kita yang secara emplisit berasumsi bahwa negara secara internal bersatu dan kuat, sementara yang terbagi-bagi akan lemah.
  1. Reputasi
Reputasi Negara seperti Yugoslavia suka berperang dan cekoslavia lebih cendrung diam. Jadi cekoslavia akan diam menerima penetrasi dari Uni Soviet dibandingkan dengan Yugoslavia. Jadi, reputasi sangat perlu dalam menentukan power kedepannya.
  1. Dukungan luar negri dan ketergantungan.
Relasi dari Negara sahabat akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan suatu Negara. Tentunya setiap kebijakan tersebut dipengaruhi oleh power-power yang ia miliki.
  1. Kecelakaan.
Kematian seorang pemimpin secara tiba-tiba, gempa bumi, kelaparan wabah penyakit menular sangat mempengaruhi hubungan power suatu Negara.

Simpulan
Power sangat erat kaitannya dengan kapabilitas suatu Negara. Power adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kebijakan baik itu berasal dari elemen luar dan dalam seperti kepala Negara, reputasi, sumber daya alam dan factor eksternal lainnya.






Subjek-subjek hukum internasional


Nama : Redha Alfian
NIM : 1001120325
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional
Mata Kuliah : Hukum internasional

Subjek-subjek hukum internasional.
1. Negara
2. Takhta suci
3. Organisasi internasional
4. Palang merah internasional
5. Pemberontak dan pihak yang sedang dalam sengketa
6. Orang perseorangan (individu)
7. Perusahaan Multinasional (MNC)

Pengakuan , Yuridiksi, dan tanggung jawab Negara Pengakuan Negara


Nama : Redha Alfian
NIM : 1001120325
Mata Kuliah : Hukum Internasional

Pengakuan , Yuridiksi, dan tanggung jawab Negara
Pengakuan Negara

Ada dua teori yang relevan terutama pengakuan, konstitutif dan deklaratoir. Teori konstitutif menyatakan bahwa Negara dan pemerintah tidak secara hukum ada sampai diakui oleh masyarakat internasional dan teori deklaratoir mengadopsi bahwa Negara dan pemerintah mendapatkan dalam kepribadian internasional ketika mereka datang ke dalam keberadaan. Menurut teori konstitutif, penciptaan sebuah Negara baru tergantung pada penerimaan Negara yang hadir. Negara baru akan memiliki hak dan kewajiban pada saat yang diakui. Namun, teori ini memiliki beberapa pertanyaan, seperti apa yang akan terjadi jika beberapa Negara mengakui ada yang baru dan yang lain tidak? Dan bagaimana hal itu bisa mungkin untuk dimasukkan ke dalam memaksa beberapa menahan, seperti larangan agresi, terhadap yang Negara tidak diakui?
Teori deklaratoir mengklaim bahwa Negara akan terbentuk bebas dari persetujuan dari Negara lain, hanya setelah ia memenuhi persyaratan internasional. Ini Pendekatan yang ditetapkan dalam kalimat pertama dari Pasal 3 Konvensi Montevideo (1933), "Keberadaan politik negara adalah independen dari pengakuan oleh yang lain menyatakan. "Teori deklaratoir tampaknya lebih memadai untuk praktek dari yang lain. Sejak pengakuan memiliki sisi politik, dalam prakteknya Amerika lebih memilih jalan tengah antara doktrin kedua, di samping kualifikasi klasik untuk mencari beberapa dasar
persyaratan hukum internasional untuk pengakuan. Di masa lalu, itu cukup untuk Negara untuk memenuhi empat kriteria. Pada tahun 1930 beberapa Negara juga mencari bahwa suatu Negara baru harus mematuhi beberapa standar fundamental dari masyarakat internasional.
Sebagai contoh, dalam Deklarasi Masyarakat Eropa pada "Pedoman Pengakuan baru Amerika di Eropa Timur dan Uni Soviet "itu menunjukkan bahwa "'Mengadopsi Masyarakat dan anggota negaranya posisi umum pada proses pengakuan dari Amerika baru, yang membutuhkan:
  • Menghormati ketentuan-ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komitmen berlangganan dalam UU Final Helsinki dan dalam Piagam Paris, khususnya yang berkaitan dengan aturan hak hukum, demokrasi dan manusia;
  • Jaminan untuk hak-hak kelompok etnis dan nasional dan minoritas di sesuai dengan komitmen berlangganan dalam rangka CSCE yang
  • Menghormati diganggu gugat semua perbatasan yang hanya dapat diubah dengan damai berarti dan dengan kesepakatan umum; Penerimaan dari semua komitmen yang relevan berkaitan dengan perlucutan senjata dan nuklir non-proliferasi serta keamanan dan stabilitas regional;
  • Komitmen untuk menyelesaikan dengan kesepakatan, termasuk bila sesuai dengan jalan lain untuk arbitrase, semua pertanyaan tentang suksesi Negara dan perselisihan regional

Yurisdiksi
Yurisdiksi” berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti : kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum, hak menurut hukum, kekuasaan menurut hukum, dan kewenangan menurut hukum. Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”.
Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (Csabi, 1971).
Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (Buana, 2007), dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum, par in parem non habet imperium”.
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.
Menurut Adolf, berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi sebagai berikut:
  1. Yurisdiksi Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).
  2. Yurisdiksi Eksekutif, yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain.
  3. Yurisdiksi Yudikatif, yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.
Sementara berdasarkan kedudukan negara dalam hukum internasional, yurisdiksi dapat dibedakan menjadi:
1. Yurisdiksi teritorial. Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat (Starke, 1984).
  1. Yurisdiksi Personal. Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal (Starke, 1984).
  2. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan. Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.
  3. Prinsip Yurisdiksi Universal. Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).
  4. Organisasi Internasional. Dalam suatu negara, organisasi internasional memiliki kekebalan tertentu terhadap yurisdiksi negara setempat. Kekebalan ini dipandang perlu untuk melaksanakan tujuan-tujuan dari organisasi internasional. Namun sampai sejauh mana oraganisasi internasional itu menikmati kekebalan menurut hukum (kebiasaan) internasional masih belum ada kejelasan. Dalam praktek, kekebalan ini biasanya diatur oleh suatu perjanjian internasional.


Tanggung jawab Negara
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.
Perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional
Artikel menentukan bahwa setiap tindakan atau perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional melahirkan pertanggungjawaban internasional negara yang bersangkutan. Perbuatan tersebut dikatakan salah hanya jika:
a) berdasarkan hukum internasional ia dapat diatribusikan kepada negara itu, dan
b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional.
Namun Artikel tidak memberi pembatasan kapan suatu negara melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Hal itu ditentukan melalui penerapan sumber-sumber ketentuan primer (ketentuan perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum internasional lainnya). Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap pertanggungjawaban organisasi internasional dan individu atau orang-perorangan.
Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara
Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara atau pemerintah atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apa pun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara.  Juga termasuk di dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak diklasifikan demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.
Bahkan tindakan seseorang atau sekelompok orang yang tidak merupakan tindakan pemerintah pun dapat dianggap sebagai tindakan negara jika orang atau kelompok orang itu bertindak berdasarkan perintah negara atau berada di bawah perintah atau pengawasan negara. Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab atas tindakan sekelompok orang yang, misalnya, melakukan teror berdasarkan perintah negara itu. Juga, suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara akan dapat diatribusikan kepada negara jika negara tersebut mengakui dan menerima tindakan tersebut sebagai tindakannya. Namun, dalam hubungan ini, jika sekadar berupa pernyataan dukungan yang dinyatakan oleh suatu negara tidak cukup untuk menyatakan perbuatan itu diatribusikan kepada negara tersebut.
Keadaan-keadaan yang menghapuskan kesalahan
Terdapat beberapa hal lain yang dapat membebaskan suatu negara dari kesalahan, yaitu jika perbuatan itu dilakukan karena keadaan terpaksa (force majeure), atau jika pelaku tidak mempunyai pilihan lain yang masuk akal, dalam keadaan tertekan (distress), guna menyelamatkan hidupnya atau pihak lain yang berada di bawah pengawasannya. Yang juga dapat membebaskan negara dari kesalahan adalah jika tindakan yang dilakukan itu merupakan keharusan (necessity). Hal ini bisa terjadi dalam hal adanya pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara kepentingan mendasar suatu negara dan kewajiban internasional negara itu. Oleh karenanya, dalil necessity ini rentan terhadap kemungkinan penyalahgunaan. Untuk menghindari penyalahgunaan itulah Artikel menentukan bahwa dalil necessity baru dapat diterima sepanjang: (a) hal itu merupakan satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan kepentingan esensial suatu negara dari bahaya besar dan segera terjadi (grave and imminent peril), (b) tidak menimbulkan gangguan serius terhadap kepentingan esensial negara yang terikat oleh kewajiban internasional itu atau masyarakat internasional secara keseluruhan.
Isi pertanggungjawaban internasional suatu negara
Negara yang dipertanggungjawabkan karena melakukan kesalahan menurut hukum internasional berkewajiban untuk melakukan perbaikan penuh atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Kerugian itu mencakup kerugian material maupun moral. Bentuk atau jenis perbaikan (reparation) itu mencakup restitusi (restitution), kompensasi (compensation), dan pemenuhan (satisfaction).
Tindakan balasan
Negara yang menderita kerugian karena perbuatan negara lain diperbolehkan melakukan tindakan balasan yakni berupa tindakan tidak melaksanakan kewajiban internasional tertentu dalam hubungan dengan negara yang melakukan pelanggaran namun semata-mata dengan tujuan agar negara yang melakukan pelanggaran itu berhenti melakukan pelanggaran dan melakukan perbaikan penuh. Namun tindakan balasan ini mengandung bahaya atau risiko yaitu jika ternyata terbukti bahwa justru tindakan negara yang mulanya dianggap melanggar itu adalah tindakan yang sah menurut hukum internasional maka tindakan balasan itulah yang menjadi tindakan yang tidak sah. Di samping itu, harus dibedakan pengertian tindakan balasan dalam rangka tanggung jawab negara ini dan pembalasan (reprisal) yang dikenal dalam hukum yang berlaku dalam sengketa bersenjata atau hukum humaniter, juga berbeda dengan tindakan penjatuhan sanksi, penghentian atau pengakhiran suatu perjanjian. Countermeasures ini lazimnya terjadi dalam konteks bilateral.
Simpulan
Negara sebagai sebuah subjek hukum juga menjadi seperti seorang individual, ia harus mendapat pengakuan oleh negara lain untuk memiliki sebuah kedaulatan, menjadi subyek bagi hukum Internasional dan tentunya harus mematuhi hukum-hukum tersebut jika melanggarnya.

Daftar Pustaka
Buana, Mirza S. 2007. Hukum Internasional Teori dan Praktek. Bandung : Penerbit Nusamedia
Csabafi, Anthony. 1971. The Concept of State Jurisdiction in International Space Law. The Hague
Starke, JG. 1984. Introduction to International Law. London : Butterwort

resume pendekatan politik

Nama            : Redha Alfian
NIM            : 1001120325
Jurusan        : Ilmu Hubungan Internasional
Mata Kuliah        : Sistem Politik Indonesia

Pendahuluan
Resume ini menjelaskan tentang teori pendekatan politik yang dimiliki oleh dua orang ahli yakni Gariel L. Almond an David Easton.
Pembahasan
Pendekatan Struktural Fungsional
              Pendekatan struktural fungsional. Pada tahun 1956, 3 tahun setelah David Easton meluncurkan karyanya The Political System (1953), Gabriel A. Almond menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error layaknya sebuah teori. Namun, Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond membangun suatu middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun Almond terdiri atas 3 tahap.


Tahap 1 : Gabriel A. Almond dalam Comparative Political Systems (1956)

Tipologi sistem politik Almond pertama kali ia ajukan pada tahu 1956. Perhatiannya pada tiga asumsi :
1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya serta keseimbangan di dalam sistem selalu berubah.
2. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta peran yang dijalankannya.
3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.


Tahap 2 : Gabriel A. Almond dan James Coleman dalam The Politics of Developing Areas (1960)

            Dalam tahap 2 ini Almond berusaha menghindarkan keterjebakan analisa sistem politik dari kontitusi/lembaga politik formal menjadi ke arah struktur serta fungsi yang dijalankan masing-masing unit dalam sistem politik. Fungsi menggantikan konsep power, sementara struktur menggantikan konsep lembaga politik formal.


           Dalam tahap 2 ini pula Almond menandaskan bahwa sistem politik memiliki 4 karakteristik yang bersifat universal. Karakteristik ini dapat berlaku di negara manapun. Keempat karakteristik tersebut adalah :
1. All political systems have political structures [setiap sistem politik punya struktur-struktur politik]
2. The same functions are performed in all political systems [fungsi-fungsi yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik]
3. All political structure ... is multi-functional. [setiap struktur politik … bersifat multifungsi]
4. All political systems are mixed in the cultural sense [setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya politik masing-masing]


              Setelah mengajukan keempat asumsi dasar, Almond memodifikasi input serta output yang dimaksudkan David Easton. Rincian Almond ini menjelaskan fungsi-fungsi input serta output Easton yang cukup abstrak tersebut. Bagi Almond, secara fungsional setiap sistem politik memiliki fungsi-fungsi input serta output, yang rinciannya sebagai berikut :

Fungsi Input terdiri atas :
Sosialisasi dan rekrutmen politik Artikulasi kepentingan Agregasi (pengelompokan) kepentingan Komunikasi politik

Fungsi output terdiri atas :
Pembuatan peraturan Penerapan peraturan Pengawasan peraturan


            Sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik, birokrasi, dan sebagainya. Artikulasi kepentingan merupakan ekspresi kepentingan politik dan tuntutan untuk melakukan tindakan. Pengelompokan kepentingan merupakan penyatuan tuntutan dan dukungan dari masyarakat yang diartikulasikan oleh partai politik, kelompok kepentingan, dan entitas politik lainnya. Komunikasi politik melayani proses komunikasi di antara seluruh entitas politik yang berkepentingan oleh sebab baik sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, dan agregasi kepentingan semua disuarakan melalui proses komunikasi politik.

            Di level fungsi output, proses yang berlangsung adalah dalam konteks pemisahan kekuasaan trias politika menurut Montesquieu. Pembuatan peraturan dilakukan oleh lembaga legislatif, pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga eksekutif, sementara pengawasan dilakukan oleh lembaga yudikatif.

               Almond membagi ada 3 level dalam sistem politik. Level pertama terdiri atas 6 fungsi konversi yaitu : artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, komunikasi politik, pembuatan peraturan, pelaksanaan peraturan, dan pengawasan peraturan. Fungsi-fungsi ini berhubugnan dengan tuntutan dan dukungan pada input serta keputusan dan tingdakan pada output.

              Level kedua dari aktivitas sistem politik teletak pada fungsi-fungsi kemampuan, yaitu regulasi, ekstraksi, distribusi, simbolik, dan respon. Almond menyebutkan bahwa di negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulasi, ekstaksi, dan distribusi lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari kelompokk-kelompok sehingga masyarakat demokratis memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi. Sementara itu pada sistem totaliter, output kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, seraya lebih mengekstraksi secara maksimal sumber daya dari masyarakatnya. Sementara itu, yang dimaksud Almond dengan kemampuan simbolik adalah kemampuan suatu sistem politik untuk menonjolkan diri di lingkungan internasional.

             Level ketiga ditempati oleh fungsi maintenance (pemeliharaan) dan adaptasi. Kedua fungsi ini ditempati oleh sosialisasi dan rekrutmen politik. Teori sistem politik Gabriel A. Almond ini kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam menjelaskan kinerja suatu sistem politik. Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan struktural fungsional mulai mendapat tempat di dalam analisis kehidupan politik suatu negara.


Sementara itu, pendekatan prilaku menampilkan suatu iri khas yang revolusioner yaitu suatu orintasi kuat untuk lebih mengilmiah ilmu politik. Orientasi ini mencakup bebrapa konsep pokok, yang oleh David Easton(1962), diuraikan sebagai berikut:
1. Perilaku plitik menampilkan keteraturan (regulartas) yang peru dirumuska sebagai generasi yang kemudian dibuktikan kebenarannya.
2. Harus ada usaha membedakan secara jelas antara orma dan fakta.
3. Analisa potik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi.
4. Penelitian harus sistematis an menuju pembentkan toeri
5. Ilmu politik haus bersifat murni

paper diplomasi era SBY


Nama : Redha Alfian
NIM : 1001120325
Mata Kuliah : Diplomasi Indonesia
Dosen : Ahmad Jamaan, S.Ip, M.Si

Pendahuluan
Sebagai bentuk perwujudan Indonesia terhadap perdamaian dunia yang sudah tertera pada Undang-undang dasar 1945, Indonesia telah melakukan banyak operasi militer untuk menyelamatkan warga-warganya. Belakangan ini, kapal MV sinar kudus yang berhasil diselamatkan. Paper ini akan membahas tentang diplomasi Indonesia terkhusus kepada kasus perompakan dan penyanderaan terutama pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pembahasan
`Dalam pekerjaan biasa dan terhormat, berarti bekerja mati-matian untuk upah yang sedikit. Sedangkan kehidupan seorang bajak laut, adalah puncak kemenangan dan keserakahan, kepuasan dan kekayaan, kebebasan dan lagi kekuasaan `, Bartholomew Roberts1. Perompakan merupakan suatu bentuk kelemahan pemerintah dalam menangani keamanan dan kesejahteraan masarakat.
Pada tanggal 16 Maret, perompak Somalia membajak kapal MV Sinar Kudus, milik PT Samudra Indonesia yang membawa 22 anggota awak asal Indonesia. Kapal ini disandera oleh perampok yang akhir-akhir ini berkeliaran. Kapal ini sedang dalam perjalanan ke Rotterdam, Belanda, dengan membawa kargo nikel dari Pomalaa, Sulawesi.
Sejak awal, jumlah permintaan tebusan yang diminta Perompak Somalia selalu naik dan turun. Semula mereka meminta sebesar USD 9 juta, kemudian turun hampir USD 2 juta, lalu naik lagi hampir USD 6 juta, dan terakhir mereka meminta nilai tebusan menjadi USD 3,5 juta setara dengan Rp 30,3 milyar.
Latar belakang
Jika merujuk kepada kasus-kasus sebelumnya, seharusnya Indonesia sudah belajar melindungi warga-warganya. Indonesia adalah pelindung terbaik bagi WNI ketika konflik internasional itu terjadi, masalahnya saat ini adalah, mampukah negara kita melakukan peranan tersebut?
Indonesia sebagai Negara yang menjujung tinggi kebebasan dan perdamaian. Ditunjukan melalui pembukaan undang-undang dasar 1945, pemerintah indonesia elah banyak melakukan opeasi militer untuk menyelesaikan masalah penyanderaan.
Gengsi-gengsi kedaulatan Negara juga banyak memengeruhi penyelesaian konflik penyanderaan. Melalui lembaga militer, pemerintah Indonesia dapat merendahkan ataupun menambah gengsi-gengsi kedaulatan suatu Negara.
Upaya penyelesaan
Secara garis besar, ada dua cara diplomasi yang dapat ditempuh pemerintah Indonesia dalam menangani kasus peyanderaan.
Soft way diplomasi
Diplomasi halus. Diplomasi dapat disebut juga seni bernegosiasi untuk mencapai kepentingan nasional. Soft way diplomasi mencerminkan seni bernegosiasi yang bersahabat , seperti halnya mengadakan perundingan adalah cara awal yang baik untuk indonesia untuk menyelesaikan konflik perompakan ini. Diplomasi kita yang berlandaskan Pancasila juga menuntut pemeritah untuk menyelamatkan warga-warganya.
Dengan melakukan diplomasi halus, banyak hal yang menguntungkan pihak indonesia dalam menangani kasus ini meskipun kita kehilangan USD 3,5 juta sebagai ganti untuk 20 awak kapal beserta kapal MV Sinar Kudus seperti kita tidak perlu mengeluarkan biaya lebih besar dari pada melaksanakan operasi militer. Idealnya, setiap kita tentu ingin menuntut hak WNI, yakni kebebasan untuk hidup tanpa ada pengekangan dari pihak manapun. Memang terlihat lucu ketika melaksanakan diplomasi pembebasan sandera ini, kita seolah melakukan hubungan jual-beli kebebasan yang sepantasnya didapat dengan Cuma-cuma.
Hard diplomasi
Yang kedua adalah Hard diplomasi atau diplomasi keras. Metode ini biasa dilakukan ketika tidak ditemukannya jalan keluar dari proses negosiasi antara kedua belah pihak. menggunakan cara keras yang sangat bertentangan dengan diplomasi halus. Cara ini memang bersifat memaksa dan mengesampingkan nilai kemanusiaan, tetapi cukup efektif untuk menempatkan kepentingan-kepentingan suatu Negara. Berbeda dengan diplomasi halus yang lebih bersifat relative tergantung kepada situasi dan apa-apa saja yang ingin dicapai.
Belajar kepada pengalaman yang terdahulu, banyak operasi militer Indonesia yang berhasil menangani masalah kejahatan internasional (terorisme), seperti salah satu keberhasilan pasukan khusus Indonesia membrangus para teroris pembajak pesawat garuda Indonesia ‘Woyla’ di Thailand. Dalam Operasi yang bersandikan kilat ini, dapat dikatakan sangat berhasil selain dapat membebaskan seluruh sandera dan melumpuhkan seluruh pembajak ( tiga tewas, dua tertangkap), TNI hanya kehilangan satu orang anggotanya yang gugur dalam baku tembak dengan teroris
Padahal, dalam segi persiapan dan kelengkapan TNI dapat dikatakan sangat minim, bahkan dalam penyerbuan itu TNI terpaksa meminjam senjata dari pasukan elit Jerman GSG9. Sungguh ironi melihat keadaan saat ini dimana pasukan khusus Indonesia memiliki persiapan dan kesiapan yang cukup memadai.
Akan tetapi, pemerintah Indonesia seolah enggan menggunakan cara diplomasi keras, dengan alasan tingginya biaya dan resiko yang bisa terjadi. Tetapi, kedua alasan ini tidaklah masuk diakal, karena masalah-masalah keamanan seperti ini menyangkut harga diri sebuah bangsa. Akankah kita mau dikatakan sebagai bangsa yang bersikap kooperatif terhadap terorisme, bukankah pembantasan terorisme baik diluar maupun di dalam negeri, merupakan kebijakan yang digaungkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika kita melihat dari kacamata lain, dan sedikit berfikir radikal, betapa rendahnya kita sebagai bangsa jika memenuhi keinginan para perompak Somalia dengan membayar tebusan sebesar USD 3,5 juta tersebut. Secara tidak langsung pemerintah Indonesia menghargai keselamatan WNI dengan uang, disisi lain pemerintah Indonesia juga menggadaikan gengsi dan harga diri yang dimiiki oleh bangsa Indonesia
Walaupun dengan menuruti tuntutan para teroris ini, kemungkinan selamatnya para sandera tinggi. Berkaca kepada Negara tetangga dekat kita Malaysia yang tanpa ragu menggelar operasi militer besar-besaran hanya untuk membebaskan warganya yang juga disandera oleh perompak Somalia.
Keraguan pemerintah Indonesia dalam menentukan keputusan dalam usaha untuk membebaskan sandera ini memperlihatkan betapa gamangnya pemimpin Indonesia dalam berdiplomasi. Coba kita bandingkan apabila permerintah kembali bersikap kooperatif dengan membayar tuntutan teroris yang meminta tebusan sebesar USD 3,5 juta sebagai sarat pembebasan sandera bukankah hal ini bisa mencederai citra kita sebagai bangsa. Terlebih lagi kita memiliki pasukan khusus KOPASSUS dan Densus 88 yang senantiasa banyak berhasil






Kesimpulan
Sikap pemerintah Indonesia yang tegas sangat diperlukan demi tercapainya perdamaian dunia. Maka tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia hanya sekedar pasif reaktif terhadap kondisi “panas” yang sedang terjadi pada WNI di dunia Internasional. Dengan pengalaman yang pernah dilaluinya pada masa lalu , Indonesia harus gencar dalam peningkatan perdamaian dengan menaruh perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan sesuai landasan idiil Negara kita, Pancasila. Bukan hanya menyelamatkan warga negaranya, pemerintah Indonesia juga harus memberantas segala bentuk penindasan, salah satunya dengan menghentikan kegiatan para perompak Somalia tentunya dengan kekatan militer yang kita miliki ataupun dengan melaksanakan diskusi dan negosiasi.
Referensi
Johnson, Charles (1724). A General History of the Robberies and Murders of the Most Notorious Pirates (1998 ed.). Conway Maritime Press.
1 Johnson, Charles (1724). A General History of the Robberies and Murders of the Most Notorious Pirates (1998 ed.). Conway Maritime Press. Hal 23