DIPLOMASI INDONESIA MAKNA “BEBAS AKTIF” DAN POLUGRI SEBAGAI SUMBER KEBIJAKAN


DIPLOMASI INDONESIA
MAKNA “BEBAS AKTIF” DAN POLUGRI SEBAGAI SUMBER KEBIJAKAN












OLEH :
Ardiansyah
0901156315

HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS RIAU


Rangkuman:
Makna Politik Bebas Aktif
Untuk lebih mendalami apa itu politik bebas aktif yang menjadi pedoman cara perpolitikan di Indonesia, kurang lengkap rasanya apabila kita belum mengetahui apa yang menjadi acuan dasar sehingga adanya politik luar negeri Indonesian yan :
Pasal 3
Yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Yang dimaksud dengan diabdikan untuk "kepentingan nasional" adalah politik luar negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana tersebut di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia oleh Pemerintah
Konsep politik luar negeri yang bebas aktif muncul tahun 1948. Tujuannya jelas, untuk menegaskan posisi Indonesia yang tidak memihak dua negara superpower. Namun tidak berarti bahwa posisi Indonesia sebagai negara yang netral, sebab menurut Hatta, posisi netral mengkonotasikan tindakan yang pasif. Posisi Indonesia pada saat terlahirnya politik bebas aktif adalah membangun sendiri jalannya, tetapi bukan untuk menandingi dua kubu yang bertikai (Alami, ). Politik luar negeri bebas aktif tidak bernah berubah dalam tataran konsepnya. Sampai saat ini-pun, setelah bergantinya sejumlah pemimpin di negara Indonesia, politik luar negeri bebas aktif tetap menjadi prinsip utama dalam kebijakan luar negeri Republik Indonesia. Citra Indonesia sebagai negara yang cinta damai, anti-penjajahan, mengedepankan diplomasi, dan juga pejuang keadilan dan kemanusiaan, adalah hasil dari penerapan politik luar negeri yang berlandaskan pada Pancasila serta UUD 1945. Hal ini sangat relevan mengingat kebutuhan Indonesia secara politik, hukum, ekonomi dan keamanan dalam mencapai kepentingan nasional Indonesia.
Ketika terjadi pergantian kepemimpinan (Presiden), maka operasionalisasi dari politik luar negeri bebas aktif pun mengalami perubahan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan faktor latar belakang keadaan dalam negeri Indonesia itu sendiri. Ketika era Soekarno, pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif cenderung anti-Barat dalam hampir semua sektor vital pelaksanaan negara. Soekarno yang anti-Barat menekankan kerjasama di bidang ekonomi, politik, dan lain-lain pada negara-negara yang bertetangga dengan Indonesia dan juga berdasarkan piagam PBB. soekarno pun sangat tegas agar Indonesia tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain (Alami, ). Karena pada saat Soekarno menjadi presiden RI ketika keadaan Indonesia baru saja merdeka dari penjajah, maka tujuan dari politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi pada perjuangan. Baik itu perjuangan kemerdekaan Indonesia sendiri maupun perjuangan kemerdekaan negara lain. Termasuk perjuangan dalam mencapai perdamaian dunia.
Pada masa Orde Baru bergulir, terjadi pergeseran operasional politik bebas aktif. Kondisi Indonesia yang carut marut dalam segala bidang mengharuskan Soeharto mengambil langkah preventif dengan melakukan kerjasama dengan pihak Barat. Hal ini dilakukan Soeharto juga demi meraih kepentingan nasional Indonesia. Dengan melakukan kerjasama dengan pihak barat, khususnya dalam bidang ekonomi, dan menjalin kerjasama dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat, diharapkan terciptanya stabilitas kawasan sehingga Indonesia dan negara lainnya dapat membangun masa depan yang baik. Walau berbeda haluan dengan Soekarno, Soeharto tetap berpegang pada tujuan dasar politik luar negeri Indonesia yang berusaha menciptakan perdamaian serta menolak kolonialisme dan imperialisme. Konsentrasi kerjasama, sebagai bentuk operasional politik bebas aktif, pada masa ini lebih menonjol pada kerjasama dengan negara kawasan (ASEAN).
Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, keadaan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia kembali terpuruk. Akhirnya pemerintah pasca Soeharto kembali menyusun politik bebas aktif yang diisi dengan semangat reformasi yang baru saja bergulir. Pelaksanaan politik luar negeri mulai direformasi dengan membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Melalui GBHN, maka dilakukanlah revisi pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari politik bebas aktif. Seluruhnya tetap berdasarkan kepada usaha mencapai kepentingan nasional. Pemerintah pasca Soeharto menerapkan aturan-aturan yang lebih rinci dan terorganisir mengenai hal-hal yang berhubungan dengan negara lain. Termasuk didalamnya peraturan tentang ketenagakerjaan warga Indonesia di luar negeri. Kualitas dari diplomat pun ditingkatkan guna suksesnya diplomasi di segala bidang (Alami, ). Persiapan pembangunan wilayah Indonesia dengan sistem pasar bebas dan berbagai kerjasama internasional lain semakin diintensifkan. Yang paling membedakan pelaksanaan politik bebas aktif pasca runtuhnya rezim soeharto adalah pelibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses perumusan, pengambilan kebijakan, dan pengesahan perjanjian internasional. Pengangkatan duta dan konsul Indonesia untuk negara lain juga melibatkan DPR.
Jadi, politik bebas aktif dijalankan berdasarkan pada kondisi dalam negeri Indonesia itu sendiri. Sebab setiap kondisi dalam negara Indonesia dari awal kemerdekaannya (setidaknya sampai tahun 2010) memerlukan tindakan penyelamatan maupun pembangunan yang berbeda. Gaya kepemimpinan (meliputi ideology, idealism, pengalaman, dll) kepala negara juga turut berperan besar dalam operasionalisasi kebijakan luar negeri bebas aktif. Mengacu pada pendapat Mochtar Kusumaatmaja, konsepsi dari “bebas” adalah bebas dari kekuatan-kekuatan yang tidak sesuai dengan keperibadian bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Maka haram hukumnya bagi setiap pemimpin menjalankan politik luar negeri, dalam keadaan apapun, tanpa berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, karena karakter dari bangsa Indonesia termaktum dengan jelas dalam dua dasar tersebut. Dan juga pelaksanaanya tidak boleh lepas dari tujuan kepentingan nasional Indonesia.
Pengaruh Bebas Aktif terhadap Dinamika Politik Regional dan Internasional
Politik luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah mestilah sejalan dengan dengan politik dalam negeri (Hatta, 1945; dalam Alami, ). Kondisi dalam negeri yang pada akhirnya mempengaruhi politik luar negeri secara nyata telah terjadi di Indonesia. Hampir setiap pergantian kepala negara selalu diikuti dengan perubahan gaya pelaksanaan politik luar negeri. Ketika operasional dari politik luar negeri berubah, maka kebijakan yang dihasilkan pun akan berubah.
Politik bebas aktif sangat memberikan pengaruh yang besar dalam dinamika politik regional dan internasional. ketika Indonesia memilih bebas aktif sebagai pakem dari politik luar negerinya, maka politik regional segera menyesuaikan. Maksudnya, agar Indonesia tidak pecah akibat tarik menarik dua kubu yang bertikai, maka kondisi dalam negeri harus segera diperkokoh (era Perang Dingin). Tanpa kekuatan dalam negeri yang baik, maka mustahil Indonesia dapat menolak dua kubu superpower yang sangat berpengaruh. Maka pada saat blok barat dan blok timur berusaha untuk menanamkan ideologinya di Indonesia melalui organisasi-organisasi kemasyrakatan, partai politik, bahkan kelompok-kelompok pemberontak, maka pemerintah dengan tegas mengambil langkah preventif dengan menumpas kelompok-kelompok tersebut. Sebab itu adalah salah satu hal yang memecahkan kesatuan rakyat Indonesia. Hatta, 1945, mengatakan bahwa persatuan yang kuat harus ada terlebih dahulu, baru kemudian pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya dalam diplomasi yang dijalankan.
Sikap Indonesia yang tegas sangat diperlukan demi tercapainya perdamaian dunia. mengingat posisi Indonesia yang sangat strategis. Maka tidak ada alasan bagi Indonesia hanya sekedar pasif reaktif terhadap kondisi “panas” yang sedang terjadi di dunia Internasional. dengan pengalaman yang pernah dilaluinya pada masa lalu, Indonesia harus gencar dalam peningkatan perdamaian dengan menaruh perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan. Saat ini, ketika terjadi banyak sekali persinggungan panas dengan negara Malaysia, Indonesia tidak menggunakan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Justru sebaliknya, dengan persinggungan yang terjadi, Indonesia memilih memperkuat kekuatan angkatan bersenjatanya dan juga memperbaiki regulasi yang saat ini masih rentan pelanggaran terhadap pelanggaran di luar negeri. Sebab secara tegas Presiden Yudhoyono menetapkan arah politik luar negeri Indonesia dengan mengedepankan total diplomasi. Maka jelaslah bahwa politik bebas aktif sangat berperan dalam dinamika politik regional dan internasional.
Walaupun konsepsi dari “bebas” kini kurang relevan dengan keadaan politik internasional, tetapi konsepsi dari “aktif” masih sangat diperlukan. Indonesia sebagai negara di asia tenggara yang masuk jajaran negara dengan ekonomi yang baik, memiliki kekuatan dan kemampuan yang besar untuk menjadi jembatan bagi perdamaian dunia. regulasi dalam negeri pun kini semakin diperhatikan, terutama regulasi yang berhubungan dengan negara lain. Pemerintah melalui departemen pertahanannya tengah memperkuat kekuatan pertahanan Indonesia. perlindungan serta kepastian hukum untuk warga negara Indonesia di luar negeri juga menjadi fokus utama daripada kinerja diplomat, aparat penegak hukum, serta pihak-pihak lainnya. Karena berpegang pada total diplomasi, maka jalan yang ditempuh oleh pemerintah dalam menyikapi persinggungan dengan negara lain saat ini sudah hampir tepat. Hanya saja, menurut penulis, ketegasan pemerintah dalam upaya meyakinkan negara lain masih kurang. Solusi untuk ketegasan yang masih kurang sehingga negara lain kurang memperhitungkan Indonesia adalah dengan peningkatan kualitas diplomasi dan diplomatnya. Dan juga warga negara Indonesia harus satu suara dengan pemerintah. Dengan begitu, pemerintah merasa mendapat dukungan moril yang secara otomatis akan mempengaruhi sisi psikologis pemerintah serta aparatur pembantunya kea rah yang positif. Romantisme diplomasi Indonesia masa lalu harus dijadikan pelajaran yang berharga, dimana diplomat Indonesia adalah diplomat kelas dunia.
Politik Luar Negeri Sebagai Sumber Kebijakan
Politik luar negeri (foreign policy) menurut William Wallace berarti "that area of politics which briges all important boundary between the national state and its international environtment." Dari pengertian tentang politik luar negeri yang dikemukakan oleh Wallace tersebut kita bisa melihat bahwa kebijakan politik luar negeri batas-batas yang sangat penting dari sebuah Negara dengan lingkungan internasional yang tentunya tidak akan terlepas dari Negara tersebut sebagai masyarakat internasional.
Negara sebagai bagian dari dunia internasional harus melaksanakan politik luar negeri. Politik luar negeri tersebut merupakan bagian dari seluruh kebijakan pemerintah. Pelaksanaan politik luar negeri mencerminkan kepentingan nasional dibidang luar negeri, disinilah hubungan internasional berperan secara vital dalam merumuskan dan memutuskan politik luar negeri yang bagaimana seharunya dilaksanakan oleh sebuah negera.
Pada dasarnya politik luar negeri merupakan action theory atau kebijaksanaan suatu negera yang diajukan kepada negera lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum foreign policy merupakan suatu perangkap formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di percaturan internasional. Politik luar negeri adalah suatu komitmen yang merupakan strategi dasar untuk mencapai tujuan baik dalam konteks dalam negeri atau luar negeri sekaligus menentukan keterlibatan suatu negera di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitar.
Henry Kissinger menyatakan bahwa "foreign policy begins when domestic policy ends. " Berarti politik luar negeri berada dalam intersection antara aspek domestik dan aspek internasional dari kehidupan suatu Negara. Karena itu politik luar negeri tidak dapat dipisahkan dari politik dalam negeri.
Sasaran politik luar negeri (objectives foreign policy) menurut Arora adalah sebagai berikut :

  1. Politik luar negeri mencoba untuk menjaga integritas territorial sebuah Negara dan menjaga kepentingan warga negaranya sampai hingga bagian luar negera (internasional).
  2. Sasaran politik luar negeri memelihara hubungan dengan anggota-anggota komunitas internasional lainnya dan penggunaan politik konflik atau kearah kerjasama mereka dengan maksud dengan pertimbangan kepentingan Negara mereka sendiri.
  3. Politik luar negeri sebuah Negara mencoba mempertimbangkan lebih jauh kepentingan nasional Negara.Kepentingan utama diantara masing-masing Negara adalah pemeliharaan negera sendiri, keamanan dan kondisi baik warga negeranya. Seringkali berbagai kepentingan Negara menjadi bertentangan dan sebuah Negara harus menjaga kepentingan mereka dengan tegas dari pengaruh faktor ini.
  4. Politik luar negeri bermaksud memajukan kepentingan ekonomi Negara. Berstatus sebagai Negara dalam arena internasional adalah sebagian besari di pengaruhi dengan keadaan ekonomi, sebuah Negara mencoba mengejar sebuah kebijakan politik luar negeri yang bisa berkontribusi pada kemakmuran ekonomi dan memungkinkannya dalam permainan yang lebih berperan efektif dalam politik internasional.
  5. Politik luar negeri bermaksud meningkatkan pengaruh Negara dengan mengembangkan area wilayahnya atau mengurangi posisi Negara-negara lain dengan tanah jajahan.


Sumber:
Alami, Atiqah Nur. . “Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia”; dalam .
Kusaatmaja, Mochtar. 2005. “Politik Luar Negeri Indonesia” dalam Paket
Couloumbis, Theodeore A. & Wolfe, James, Pengantar Hubungan Internasional Keadilan dan Power, 3rd Editions, New Jersey, Prentice Hall, 1986, p.129
Holsti, K. J., International Politics,  A Framework for Analysis, 4th Edition, London, Prentice Hall, 1983, p.97
Kissinger, Henry A., “Domestic Structure and Foreign Policy”, in Henreider, Wolfham F. ed., Comparative Fpreign Policy, Theoretical Essays, New York, Davud McKay, 1971, p.133
Modelski, George, A Theory of Foreign Policy, New York, Praeger, 1962, p.6




No comments:

Post a Comment