diplomasi Gamang Indonesia

Diplomasi Gamang Indonesia
    Sekali lagi pemimpin Indonesia diuji degan masalah warga Negaranya di dunia Internasional setelah masalah tenaga kerja Indonesia (TKI). Penyanderaan warga Negara Indonesia (WNI) yang dilakukan perompak Somalia, sekali lagi juga membuat pemerintah Indonesia terkesan lamban melindungi warganya.
Hingga saat ini, 20 WNI masih disandera perompak Somalia . ke-20 WNI itu adalah awak kapal MV Sinar kudus milik perusahaan pelayaran Samudera Indonesia yang sedang berlayar dari Pomalang Sulawesi Tenggara, menuju Rotterdam Belanda memuat biji nikel.
Sejak awal, jumlah permintaan tebusan yang diminta Perompak Somalia selalu naik dan  turun. Semula mereka meminta sebesar USD 9 juta, kemudian turun hampir USD 2 juta, lalu naik lagi hampir USD 6 juta, dan terakhir mereka meminta nilai tebusan menjadi USD 3,5 juta setara dengan Rp 30,3 milyar.
Jika merujuk kepada kasus-kasus sebelumnya, seharusnya Indonesia sudah belajar melindungi warga-warganya. Indonesia adalah pelindung terbaik bagi WNI ketika konflik internasional itu terjadi, masalahnya saat ini adalah, mampukah negara kita melakukan peranan tersebut?
Secara garis besar, ada dua cara diplomasi yang dapat ditempuh pemerintah Indonesia dalam menangani kasus peyanderaan, pertama soft way diplomasi atau diplomasi halus. Diplomasi dapat disebut juga seni bernegosiasi untuk mencapai kepentingan nasional. Soft way diplomasi mencerminkan seni bernegosiasi yang bersahabat , seperti hal nya mengadakan perundingan adalah cara awal yang baik untuk indonesia untuk menyelesaikan konflik perompakan ini. Diplomasi kita yang berlandaskan Pancasila juga menuntut pemeritah untuk menyelamatkan warga-warganya
Dengan melakukan diplomasi halus, banyak hal yang menguntungkan pihak indonesia dalam menangani kasus ini meskipun kita kehilangan USD 3,5 juta sebagai ganti untuk 20 awak kapal beserta kapal MV Sinar Kudus seperti kita tidak perlu mengeluarkan biaya lebih besar dari pada melaksanakan operasi militer.  Idealnya, setiap kita tentu ingin menuntut hak WNI, yakni kebebasan untuk hidup tanpa ada pengekangan dari pihak manapun. Memang terlihat lucu ketika melaksanakan diplomasi pembebasan  sandera ini, kita seolah melakukan hubungan jual-beli kebebasan yang sepantasnya didapat dengan Cuma-cuma.
Yang kedua adalah Hard diplomasi atau diplomasi keras. Metode ini biasa dilakukan ketika tidak ditemukannya jalan keluar dari proses negosiasi antara kedua belah pihak.  menggunakan cara keras yang sangat  bertentangan dengan diplomasi halus. Cara ini memang bersifat memaksa dan mengesampingkan nilai kemanusiaan, tetapi cukup efektif untuk menempatkan kepentingan-kepentingan suatu Negara. Berbeda dengan diplomasi halus yang lebih bersifat relative tergantung kepada situasi dan apa-apa saja yang ingin dicapai.
Belajar kepada pengalaman yang terdahulu,  banyak operasi militer Indonesia yang berhasil menangani masalah kejahatan internasional (terorisme), seperti salah satu keberhasilan pasukan khusus Indonesia membrangus para teroris pembajak pesawat garuda Indonesia ‘Woyla’ di Thailand. Dalam Operasi yang bersandikan kilat ini,  dapat dikatakan sangat berhasil selain dapat membebaskan seluruh sandera dan melumpuhkan seluruh pembajak ( tiga tewas, dua tertangkap), TNI hanya kehilangan satu orang anggotanya yang gugur dalam baku tembak dengan teroris
Padahal,  dalam segi persiapan dan kelengkapan TNI dapat dikatakan sangat minim, bahkan dalam penyerbuan itu TNI terpaksa meminjam senjata dari pasukan elit Jerman GSG9. Sungguh ironi melihat keadaan saat ini dimana pasukan khusus Indonesia memiliki persiapan dan kesiapan yang cukup memadai.
Akan tetapi, pemerintah Indonesia seolah enggan menggunakan cara  diplomasi keras,  dengan alasan tingginya biaya dan resiko yang bisa terjadi. Tetapi, kedua alasan ini tidaklah masuk diakal, karena masalah-masalah keamanan seperti ini menyangkut harga diri sebuah bangsa. Akankah kita mau dikatakan sebagai bangsa yang bersikap kooperatif terhadap terorisme, bukankah pembantasan terorisme baik diluar maupun di dalam negeri, merupakan kebijakan yang digaungkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika  kita melihat dari kacamata lain, dan sedikit berfikir radikal, betapa rendahnya kita sebagai bangsa jika memenuhi keinginan para perompak Somalia dengan membayar tebusan sebesar USD 3,5 juta tersebut. Secara tidak langsung pemerintah Indonesia menghargai keselamatan WNI dengan uang, disisi lain pemerintah Indonesia juga menggadaikan gengsi  dan harga diri yang dimiiki oleh bangsa Indonesia
Walaupun dengan menuruti tuntutan para teroris ini, kemungkinan selamatnya para sandera tinggi. Berkaca kepada Negara tetangga dekat kita Malaysia yang tanpa ragu menggelar operasi militer besar-besaran hanya untuk membebaskan warganya yang juga disandera oleh perompak Somalia.
Keraguan pemerintah Indonesia dalam menentukan keputusan dalam usaha untuk membebaskan sandera ini memperlihatkan betapa gamangnya pemimpin Indonesia dalam berdiplomasi. Coba kita bandingkan apabila permerintah kembali bersikap kooperatif dengan membayar tuntutan teroris yang meminta tebusan sebesar USD 3,5 juta sebagai sarat pembebasan sandera bukankah hal ini bisa mencederai citra kita sebagai bangsa. Terlebih lagi kita memiliki pasukan khusus KOPASSUS dan Densus 88 yang senantiasa banyak berhasil
 Sikap pemerintah Indonesia yang tegas sangat diperlukan demi tercapainya perdamaian dunia. Maka tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia hanya sekedar pasif reaktif terhadap kondisi “panas” yang sedang terjadi pada WNI di dunia Internasional. Dengan  pengalaman yang pernah dilaluinya pada masa lalu , Indonesia harus gencar dalam peningkatan perdamaian dengan menaruh perhatian pada nilai-nilai kemanusiaan sesuai landasan idiil Negara kita, Pancasila. Bukan hanya menyelamatkan warga negaranya, pemerintah Indonesia juga harus memberantas segala bentuk penindasan, salah satunya dengan menghentikan kegiatan para perompak Somalia tentunya dengan kekatan militer yang kita miliki ataupun dengan melaksanakan diskusi dan negosiasi.


Redha Alfian
Mahasiswa Hubungan Internasional
Universtas Riau

No comments:

Post a Comment