paper power dan nasional power


Nama : Redha Alfian
NIM : 1001120325
Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Hubungan Internasional
Jurusan : Hubungan Internasional

Power dan National Power
I. Pendahuluan
Pada paper keempat ini, akan dibahas mengenai tentang konsep power, dan National power. Dalam bahasa Indonesia, Power ialah kekuasaan dan National Power ialah kekuasaan negara

II. Pembahasan
Power (Kekuasaan)
Kata Power berasal dari bahasa inggris yang berarti kekuatan,dan dalam ilmu politik Power bisa dikatakan sebagai kekuasaan. Menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis). Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.
Para sarjana ilmu politik beranggapan bahwa kekuasaan politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Biasanya dianggap bahwa perjuangan kekuasaan (power struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
Kekuasaan adalah kemampuan dalam suatu hubungan social, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.1 Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama.2
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.3
Biasanya kekuasaan diselenggarakan (exercise of power) melalui isyarat yang jelas. Ini sering dinamakan manifest (manifest power). Namun kadang-kadang isyarat itu tidak ada, misalnya dalam keadaan yang oleh Carl Friedrich dinamakan the rule of anticipated reactions.4 Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang diantisipasikan jika keinginan A tidak dilakukan oleh B. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan implicit (implicit power).5
Esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Cara untuk menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda. Upaya yang paling ampuh adalah kekerasan fisik (force). Kekuasaan dapat juga diselenggarakan lewat koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi. Suatu upaya yang sedikit lebih lunak adalah melalui persuasi (persuasion) yaitu proses meyakinkan, beragumentasi atau menunjuk pada pendapat seorang ahli (expert advice). Dalam kehidupan sehari-hari seorang pelaku berkuasa kadang-kadang cendrung memakai cara ini agar tidak terlalu menonjolkan kekuasaannya.
Selain itu dapat digunakan pula cara lain. Cara lain itu adalah dengan tidak mengatakan denda tetapi memberikan ganjaran (reward) atau insentif, imbalan atau kompensasi.
Sumber Kekuasaan :
  1. Kedudukan
Contohnya seorang pejabat terhadap anak buahnya ataupu seorang direktur terhadap pegawainya.
  1. Kekayaan
Contohnya seorang pengusaha mempunyai kekuasaan pada politikus atau seorang bawahan yang mempunyai utang yang belum dibayar kembali.
  1. Kepercayaan / Agama
Dibanyak tempat banyak alim ulama mempunya kekuasaan terhadap umatnya. sehingga mereka di anggap sbagai pemimpin informal yang perlu diperhitungkan dalam mengambil keputusan.
National Power
KEKUASAAN NEGARA
Negara (sebagai suatu organisasi di suatu wilayah) memiliki kekuasaan untuk memaksakan kedudukannya secara sah terhadap semua golongan yang ada dalam wilayah itu dan menetapkan tujuan kehidupan bersama. Negara berkewajiban menetapkan cara dan batas kekuasaan untuk digunakan dalam kehidupan bersama, sehingga dapat membimbing berbagai kegiatan penduduk ke arah tujuan bersama.
Teori Asal kekuasaan negara
1)Teori Teokrasi
Teori Teokrasi Langsung: istilah langsung menunjukkan bahwa yang berkuasa
dalam negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan. Pertanyaannya, apakah negara semacam ini pernah ada dan apakah Tuhan sendiri yang memerintah?
Teori Teokrasi tak Langsung: disebut tak langsung karena bukan Tuhan sendiri
yang memerintah, melainkan raja (atas nama Tuhan). Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Anggapan ini timbul dalam sejarah pada sekumpulan manusia yang tergabung dalam partai konvensional (agama) di negara Belanda. Mereka berpendapat bahwa raja Belanda dan rakyatnya dihadapkan pada suatu tugas suci (mission sacre) sebagai perintah dari Tuhan untuk memakmurkan negara Belanda, termasuk daerah jajahannya.
2)Teori Kekuasaan
Sebagaimana sudah diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas Hobbes dan Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudulLevia tha n, Hobbes membedakan dua macam status manusia: status naturalis - kedudukan manusia sewaktu masih belum ada negara dan status civilis - kedudukan manusia setelah menjadi warga negara suatu negara.
3)Teori Yuridis
Teori ini hendak mencari dasar hukum kekuasaan negara melalui tiga golongan:
a) TeoriPa tria rk ha l
Teori ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa masyarakat hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar, kepala keluarga (primus inter pares) menjadi pemimpin yang dipuja-puja karena kekuatannya, jasa dan kebijaksanaannya.
b) TeoriPa trimonia l
Patrimonial berasal dari istilahpa trimonium yang berarti hak milik. Karena rajalah pemegang hak milik di wilayah kekuasaannya, maka semua penduduk daerah itu harus tunduk kepadanya. Sekadar contoh, pada abad pertengahan hak untuk memerintah dan menguasai timbul dari pemilikan tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh. Jika perang berakhir dengan kemenangan raja, maka para bangsawan yang ikut membela
negara akan mendapatkan sebidang tanah sebagai tanda jasa.
c) TeoriPe rja njia n
Teori perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara dikemukakan oleh tiga tokoh terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau. Mereka hendak mengembalikan kekuasaan raja pada suatu perjanjian masyarakat yang mengalihkan manusia dari status naturalis ke status civilis.



Teori Pemisahan Kekuasaan Negara
John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” (1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:
1.Legislatif: kekuasaan untuk membuat undang-undang;
2.Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang;
3.Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala
tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Diilhami pemikiran John Locke, setengah abad kemudian Montesquieu - seorang pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku “L’Esprit des Lois” (Jenewa, 1748). Di dalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan kekuasaan yang berlaku di Inggris: 1.Legislatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat
(parlemen);
2.Eksekutif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintah;
3.Yudikatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah
Agung dan pengadilan di bawahnya).
Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif.
Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan pelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan
John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebuts epa ra tion
of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti
formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya

1 Max Weber, Wirtschaft und Gesselschaft (Tubingen, Mohr, 1992)


2 Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, Power and Society ( New Haven: Yale University Press, 1950), hlm. 74.


3 Barbara Goodwin, Using Political Ideas, ed. Ke-4 (West Sussex, Engkand: Barbara Goodwin, 2003), hlm. 307.


4 Jack H. Nagel, The Descriptive Analysis of Power (New Haven: Yale University Press, 1975), hlm.16.


5 Ada beberapa sarjana antara lain Friedrich dan Dahl, yang menamakan gejala the rule of anticipated reactions sebagai “pengaruh”. Dahl menamakannya “pengaruh implicit”; Robert A. Dahl, Modern Political Analysis (New Delhi: Prentice Hall of India, 1978), hlm.30-31.


No comments:

Post a Comment