power, authority, influence. persuasion, coersion, dan acquiescene


Nama                    : Redha alfian     
NIM                     : 1001120325
Mata Kuliah        : Pengantar Ilmu Politik
Jurusan                : Hubungan Internasional
Dosen                   : DR. Alimin Siregar

I. Pendahuluan
            Paper ini, akan dibahas mengenai tentang konsep power, authority, influence, persuasion, coercion, dan acquiescence dalam ilmu politik serta pengertiannya, sumber authority(otoritas), dan perbedaan antara kekuasaan dan otoritas pada ilmu politik.

II. Konsep-konsep Dasar Ilmu Politik
1. Power (Kekuasaan)
            Kata Power berasal dari bahasa inggris yang berarti kekuatan,dan dalam ilmu politik Power bisa dikatakan sebagai kekuasaan. Menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis). Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.
            Para sarjana ilmu politik beranggapan bahwa kekuasaan politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Biasanya dianggap bahwa perjuangan kekuasaan (power struggle) ini mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
            Pendekatan kekuasaan banyak terpengaruh oleh ilmu sosiologi, yang lebih luas ruang lingkupnya dan juga mencakup gejala-gejala social seperti serikat buruh,dan organisasi-organisasi yang terdapat dalam masyarakat. Pendekatan ini lebih dinamis dari pada pendekatan institusional karena memerhatikan proses. Dan kebanyakan para sarjana ilmu politik berpangkal tolak dari pengaruh ilmu sosiologi terutama dari perumusan Max Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gessellshaft (1992) :
Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan social, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.[1]
Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama.[2]
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.[3]
            Biasanya kekuasaan diselenggarakan (exercise of power) melalui isyarat yang jelas. Ini sering dinamakan manifest (manifest power). Namun kadang-kadang isyarat itu tidak ada, misalnya dalam keadaan yang oleh Carl Friedrich dinamakan the rule of anticipated reactions.[4] Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang diantisipasikan jika keinginan A tidak dilakukan oleh B. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasaan implicit (implicit power).[5]
            Esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Cara untuk menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda. Upaya yang paling ampuh adalah kekerasan fisik (force). Kekuasaan dapat juga diselenggarakan lewat koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi. Suatu upaya yang sedikit lebih lunak adalah melalui persuasi (persuasion) yaitu proses meyakinkan, beragumentasi atau menunjuk pada pendapat seorang ahli (expert advice). Dalam kehidupan sehari-hari seorang pelaku berkuasa kadang-kadang cendrung memakai cara ini agar tidak terlalu menonjolkan kekuasaannya.
            Selain itu dapat digunakan pula cara lain. Cara lain itu adalah dengan tidak mengatakan denda tetapi memberikan ganjaran (reward) atau insentif, imbalan atau kompensasi.
Sumber Kekuasaan :
1.     Kedudukan
Contohnya seorang pejabat terhadap anak buahnya ataupu seorang direktur terhadap pegawainya.
2.     Kekayaan
Contohnya seorang pengusaha mempunyai kekuasaan pada politikus atau seorang bawahan yang mempunyai utang yang belum dibayar kembali.
3.     Kepercayaan / Agama
Dibanyak tempat banyak alim ulama mempunya kekuasaan terhadap umatnya. sehingga mereka di anggap sbagai pemimpin informal yang perlu diperhitungkan dalam mengambil keputusan.

2. Authority (Kewenangan)
            Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentian mobil di jalan tidak berarti dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi.
            Ada beberapa pengertian yang erat kaitannya dengan kekuasaan, yaitu otoritas, wewenang (authority) dan legitimasi (legitimacy atau keabsahan). Definisi yang dikemukakan oleh Robert Bierstedt dalam karangannya An Analysis of Social Power yang mengatakan bahwa wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).[6] Dengan nada yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam buku power and society bahwa wewenang (authority) adalah kekuasaan formal (formal power). Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapakan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.
            Selain konsep wewenang juga dikenal konsep legitimasi (legitimacy atau keabsahan) yang terutama penting dalam suatu system politik. Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarka persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas  dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah.
Ada lima sumber kewenangan untuk memerintah, antara lain :
1.      Hak memerintah yang bersumber dari tradisi, yaitu kepercayaan yang telah berakar dan di pelihara secara terus menerus dalam masyarakat.
2.      Hak memerintah dari tuhan, dewa, atau wahyu. Yaitu orang yang berkuasa berusaha menunjukkan pada masyarakat bahwa kewenangannya berasal dari sumber sakral.
3.      Kharisma, yaitu hak memerintah yang berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin yang meliputi penampilan dan juga kepopulerannya.
4.      Hak memerintah masyarakat yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan.
5.      Hak memerintah berasal dari sumber yang bersifat instrumental seperti keahlian atau kekayaan.
Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa dipatuhi.

Perbedaan antara Kekuasaan (Power) dan Otoritas (Authority)
Kekuasaan (Power)     :
1.      Bisa bersifat formal dan informal
2.      Bersumber pada kepercayaan dan agama
3.      Bersifat scope of power (menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan, dan juga bersifat domain of power (orang-orang yang dikuasai oleh orang atau kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelaku, kelompok organisasi atau kolektivitas yang kena kekuasaan
4.      Ada sebuah sifat ketergantungan (dependency), seperti contoh : selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain.

Kewenangan (Authority)
1.      Bersifat kekuasaan yang dilembagakan
2.      Bersifat formal
3.      Bersumber dari hak
4.      Kekuasaannya bersifat absah atau legitimasi.

3. Influence (Pengaruh)
            Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa kekuasaan dapat mengadakan sanksi dan pengaruh. Kebanyakan sarjana, termasuk Floyd Hunter (1953) dalam karyanya community Power Structure berpendapat bahwa:”Kekuasaan merupakan pengertian pokok, dan pengaruh bentuk khuususnya.”[7] Demikian pula pendapat Carl Friedrich (1976) dalam bukunya, An Introduction to Political Theory.[8] Namun Laswell dan Kaplan berbeda pendapat, dan menganggap pengaruh sebagai konsep pokok, dan kekuasaan sebagai bentuk khas dari pengaruh. Perumusan Laswell dan Kaplan adalah sebagai berikut :

Kekuasaan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan orang lain melalui sanksi yang sangat berat (yang benar-benar akan dilaksanakan atau yang berupa ancaman sanksi) itulah yang membedakan kekuasaan dari pengaruh pada umumnya. Kekuasaan merupakan kasus khusus dari penyelenggaraan pengaruh; ia merupakan proses ancaman, jika mereka tidak mematuhi kebijakan-kebijakan yang  dimaksud.[9]

Definisi lain adalah        :
Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.[10]

Kekuasaan adalah salah satu influence term.[11]

            Pengaruh biasanya tidak merupakan salah satunya factor yang menentukan perilaku seseorang, dan sering bersaing dengan factor lain. Akan tetapi sekalipun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan dengan kekuasaan, ia kadang-kadang mengandung unsur psikologis dan menyentuh hati, dank arena itu sering kali cukup berhasil.

4. Coercion
            Coercion adalah bentuk akomodasi yang posesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi, di mana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (yaitu secara langsung), maupun secara psikologis (yaitu secara tidak langsung).
            Dalam hal ini Coercion sangat berpengaruh pada ilmu politik karena di dalam ilmu politik terdapat kekuasaan, dan di dalam kekuasaan terdapat yang kuat dan yang lemah sehingga yang lemah harus tunduk terhadap peraturan yang kuat.

5. Persuasion
            Berasal dari bahasa Inggris yang berarti “bujukan atau kepercayaan”. Di dalam ilmu politik Persuasion adalah salah satu cara penyelenggaraan kekuasaan. Persuasion yaitu proses meyakinkan, beragumentasi  ataupun menunjuk pada pendapat seorang ahli (expert advice).
            Dalam kehidupan sehari-hari seorang pelaku berkuasa kadang-kadang cenderung memakai cara ini agar tidak terlalu menonjolkan kekuasaannya.

6. Acquiescence (Persetujuan tanpa protes)
            Acquiescence berarti “persetujuan tanpa protes atau dengan diam-diam” di dalam bahasa inggris. Keterkaitannya dalam ilmu politik merupakan akibat dari kekuasaan yang berisi peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa yang apabila dilanggar oleh objek dari peraturan tersebut akan mendapat sanksi.
            Oleh karena itu, di perlukan sebuah Acquiescence (persetujuan tanpa protes atau diam-diam) agar peraturan-peraturan tersebut dapat disepakati penggunaannya bagi penguasa, Tetapi hal ini merupakan dampak kekuasaan yang buruk karena Acquiescence sangat lah memberatkan apabila si pelanggar peraturan mendapat sanksi sedangkan si pelanggar tidak mengetahui adanya peraturan tersebut sebelumnya. Jadi dengan demikian Acquiescence merupakan dampak dari kekuasaan yang tidak baik.



III. Kesimpulan

Kekuasaan sangat erat dengan politik, dan politik sangat identik dengan kekuasaan, karena untuk mencapai suatu kekuasaan diperlukan sebuah politik agar kekuasaan itu tercapai. Kekuasaan merupakan konsep yang banyak dipelajari dalam ilmu politk dan mendapat dukungan dari konsep-konsep lain seperti: Authority (Kewewenangan), Influence (pengaruh), Persuasion, Coercion, dan Acquiescence(persetujuan tanpa protes atau dengan diam-diam). Dan konsep-konsep tersebut merupakan konsep yang penting dalam ilmu politik. Dengan demikian konsep-konsep tersebut sangat berpengaruh dalam ilmu politk. Dengan mempelajari konsep-konsep tersebut pengetahuan ilmu politik dapat lebih dipahami dan dikembangkan.







[1] Max Weber, Wirtschaft und Gesselschaft (Tubingen, Mohr, 1992)
[2] Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, Power and Society ( New Haven: Yale University Press, 1950), hlm. 74.
[3] Barbara Goodwin, Using Political Ideas, ed. Ke-4 (West Sussex, Engkand: Barbara Goodwin, 2003), hlm. 307.
[4] Jack H. Nagel, The Descriptive Analysis of Power (New Haven: Yale University Press, 1975), hlm.16.
[5] Ada beberapa sarjana antara lain Friedrich dan Dahl, yang menamakan gejala the rule of anticipated reactions sebagai “pengaruh”. Dahl menamakannya “pengaruh implicit”; Robert A. Dahl, Modern Political Analysis (New Delhi: Prentice Hall of India, 1978), hlm.30-31.
[6] Robert Bierstedt, “An Analysis of Social Power,” American Sociological Review, volume 15 (December 1950), hlm. 732.
[7] Floyd Hunter, Community Power Structure (University of Notrh Carolina Press, 1953), hlm 164.
[8] Carl Friedrich, An Introduction to Political Theory (New York Harper  and Row, 1967), hlm 124.
[9] Laswell dan Kaplan, power and society, hlm. 76.
[10] Norman Barry, An Introduction to Modern Theory, hlm.99.
[11] Robert A. Dahl, Ibid., hlm 15.

No comments:

Post a Comment