konsep dasar ilmu politik


Nama                          : Redha Alfian
NIM                            : 1001120325
Mata Kuliah               : Pengantar Ilmu Politik
Jurusan                       : Hubungan Internasional
Dosen                         : Dr. Alimin Siregar
Kelas                          : Reguler A
Konsep-konsep Dasar Ilmu Politik
I. Pendahuluan
            Tulisan ini menerangkan konsep-konsep dasar ilmu politik diantaranya political culture (budaya politik), sub-culture, political, political cleavages (pembelahan atau perpecahan politik), dan civic culture (budaya politik kewarganegaraan), serta sosialisasi politik yang banyak memengaruhi perkembangan dan pengetahuan politik dalam suatu kelompok masyarakat dan Negara.
II. Pembahasan
1. Political Culture (budaya politik)
            Political culture adalah Kumpulan pengetahuan yang membentuk pola ciri tingkah laku terhadap pemerintah dan politik dari suatu masyarakat. Kebudayaan politik sering kali mengartikan tingkah laku politik dalam dimensi psikologis, seperti contoh yaitu keyakinan, perasaan, dan orientasi evaluatif. Kebudayaan politik disebut juga produk pengalaman historis yang memperlancar proses sosialisasi setiap individu.
            Pengkajian kebudayaan politik sangat tergantung pada tilikan psikologi, antropologi budaya, dan sosiologi. Dalam perspektif penelitian politik belakangan ini, studi-studi demikian menyiratkan adanya suatu ikhtiar untuk memanfaatkan beberapa metode dan tilikan “behavioral”. Perhatian terhadap kebudayaan politik didorong oleh pertumbuhan kepentingan masyarakat non-Barat, dimana dampak variable-variabel politik terhadap sistem politik tidak begitu saja dapat diambil dari pengamat barat. 
            Definisi tentang political culture memang banyak dan beraneka ragam. Roy Macridis, menulisnya sebagai tujuan bersama dan peraturan yang diterima bersama. Samuel Beer menganggap kebudayaan politik sebagai salah satu dari empat variable yang sangat penting bagi analisa system politik. Menurut Beer, komponen-komponen kebudayaan itu adalah: nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaimana pemerintah seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah itu.
            Robert Dahl telah memilih kebudayaan politik sebagai satu faktor yang menjelaskan pola-pola yang berbeda mengenai pertentangan politik. Unsur budaya yang penting menurut Dahl adalah ;

Ø      Orientasi pemecahan masalah-masalah, apakah mereka pragmatik atau rasionalistis?
Ø      Orientasi terhadap aksi bersama, apakah mereka bersifat bekerjasama atau tidak (kooperatif atau non-kooperatif)
Ø      Orientasi terhadap sistem politik, apakah mereka setia atau tidak.
Ø      Orientasi terhadap orang lain, apakah mereka bisa dipercaya atau tidak?
Sedangkan Lucian Pye menggambarkannya sebagai "jumlah dari nilai-nilai fundamental, sentimen dan pengetahuan yang memberi bentuk dan isi kepada proses politik".[1]
Dan menurut  Dennis Kavanagh mendefinisikan budaya politik sebagai "Sebuah ungkapan singkat untuk menunjukkan seperangkat nilai-nilai yang di dalamnya sistem politik beroperasi".[2]
Di sisi lain David Easton menemukakan bahwa “budaya politik merujuk pada tindakan atau tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum maupun khusus mereka dan prosedur-prosedur yang mereka anggap harus diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut”.[3]
            Dengan demikian dapat dikatakan kultur budaya sebagai pernyataan untuk menyatakan lingkungan perasaan dan sikap dimana sistem politik itu berlangsung.
Tipe-tipe Budaya Politik
            Berdasarkan orientasi-orientasi warga Negara terhadap kehidupan politik atau budaya politiknya, Almond[4] mebedakan adanya tuga budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture)
            Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku. Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyarakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan diberbagai lapisan masyarakat.Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas.
            Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarakat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikian parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.
b. Budaya politik kaula/subjek (subject political culture)
            Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.
            Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah.
c. Budaya politik partisipan (participant political culture)
            Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif.

d. Budaya politik campuran (mixed political cultures)
            Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.
2. Sub-Culture
            Kebudayaan politik suatu bangsa sebenrnya suatu metapora, dan mungkin menyembunyikan variasi-variasi khusus dalam orientasi-orientasi politik dari kelompok masyarakat yang berbeda. Istilah itu mungkin sama meteporanya dengan opini publik. Orientasi-orientasi kelompok yang berbeda inilah, yang kadang membuahkan kebudayaan yang integrasi dan saling bertalian, yang dinamakan sub-kultur.
            Contoh Beberapa penyebab timbulnya sub-kultur  adalah sebagai berikut :
Ø      Budaya elit lawan budaya massa
Ø      Generasi
Ø      Pembagian dikalangan kaum elit
Ø      Partai-partai politik
            Dengan kata lain subkultur adalah sekelompok orang dengan budaya (baik yang jelas atau tersembunyi) yang membedakan mereka dari budaya yang lebih besar untuk tempat mereka berada. Jika suatu subkultur tertentu dicirikan oleh oposisi sistematis terhadap budaya dominan, hal itu mungkin bisa digambarkan sebagai budaya tandingan.
            Subkultur dapat berbeda karena usia, etnisitas, kelas, lokasi, dan / atau jenis kelamin anggota. Kualitas yang menentukan suatu subkultur dilihat dari perbedaan bahasa, estetika, agama, politik, seksual, geografis, atau kombinasi faktor. Menurut Dick Hebdige, subkultur anggota sering ditandai dengan keanggotaan mereka melalui khas dan simbolis penggunaan gaya, yang meliputi mode, sikap, dan dialek.[5]

3. Political Cleavage
            Merupakan pengkotakan yang kritis didalam suatu sistem sosial yang melahirkan pertentangan politik. Pembelahan bisa ditimbulkan pleh berbagai faktor seperti perbedaan-perbedaan, kekayaan dan pendapat, suku dan agama, kota dan desa atau kedaerahan, atau antara warna kulit dan golongan. Perbedaan pendapat, keyakinan, atau kepentingan bisa semakin menguasakan pembelahan tersebut, atau memperkuat perpecahan yang sudah ada.
            Para ilmuwan politik sangat menaruh perhatian pada pertalian antara pembelahan sosial dan kestabilan sistem politik. Pebelahan-pembelahan yang paling mendasar yang dihadapi pemerintah demokratis dimanapun selalu bersumber pada isu-isu rawan, misalnya penyebaran pendapatan nasional, perbedaan agama dan ideologi, pengkotakan rasial dan etnis, dan rekonsiliasi kebebasan dari bersamaan pola-pola pembelahan kelompok cenderung menggambarkan salah satu atau gabungan faktor-faktor tersebut. Untuk menanggulangi perpecahan sosial pemerintah demokratis yang majemuk menganjurkan kepada kelompok-kelompok yang sakit hati. Kesetiaan pendek silang dan memberikan kemudahan-kemudahan jalan masuk kedalam sistem politik.   
4. Political Pluralism
            Pluralisme adalah, dalam pengertian umum, pengakuan terhadap keragaman.. Konsep ini digunakan, sering kali dengan cara yang berbeda, dalam berbagai isu. Dalam politik, pluralisme sering dianggap oleh para pendukung demokrasi modern berada dalam kepentingan warganya, dan pluralisme politik adalah salah satu fitur yang paling penting.
            Istilah pluralisme juga digunakan untuk menunjukkan sudut pandang teoretis pada kekuasaan negara dan berbagai tingkatan yang hingga menyarankan bahwa pluralisme adalah model yang memadai bagaimana kekuasaan didistribusikan dalam masyarakat. Untuk informasi mengenai teori politik pluralisme melihat Pluralisme (teori politik).
            Dalam demokrasi politik, pluralisme adalah suatu pemandu prinsip yang memungkinkan hidup berdampingan secara damai dari berbagai kepentingan, keyakinan dan gaya hidup. Dalam konteks ini telah normatif konotasi absen dari penggunaannya untuk menunjukkan sudut pandang teoretis. Tidak seperti totaliterisme atau partikularisme, pluralisme mengakui keanekaragaman kepentingan dan menganggapnya penting bahwa anggota masyarakat yang mengakomodasi perbedaan mereka dengan melibatkan diri dalam negosiasi dengan niat baik.
            Sebuah budaya pluralistik memiliki fitur penting berikut:
Ø       Prinsip-prinsip demokratis Stabil
Ø       Standar hidup
Ø       Konsisten arahan
Ø       Vital norma-norma demokrasi praktis
Ø       Keterampilan dan tradisi
            Sebuah masyarakat yang pluralistik secara politik mengembangkan toleransi untuk berpikir divergen. Ini berarti bahwa semua ide-ide dan kepercayaan dari orang-orang yang berlaku.
5. civic culture (budaya politik kewarganegaraan)
            Sebuah budaya kewarganegaraan atau civic budaya politik adalah budaya politik ditandai dengan "penerimaan terhadap otoritas negara" dan "kepercayaan dalam partisipasi dalam tugas-tugas kemasyarakatan" Istilah ini pertama kali digunakan dalam Gabriel Almond dan Sidney Verba Civic budaya politik adalah campuran dari budaya politik yang lain yaitu parokial, subyek dan budaya politik peserta/partisipatif.[6]
            Almond dan Verba menyatakan bahwa berikut ini adalah karakteristik dari budaya kewarganegaraan :
Ø      Aspek kebanggaan bangsa seseorang
Ø      Harapan akan perlakuan adil dari pemerintah yang berwenang
Ø      Kemampuan untuk berbicara secara bebas dan sering tentang politik
Ø      Keterlibatan emosional dalam pemilu
Ø      Toleransi terhadap partai-partai oposisi
Ø      Sebuah Menilai partisipasi aktif dalam kegiatan pemerintah daerah, pesta, dan dalam asosiasi-asosiasi sipil
Ø      Kepercayaan diri dalam satu kompetensi untuk berpartisipasi dalam politik
Ø      kerjasama dan kepercayaan
Ø      Keanggotaan dalam sebuah asosiasi sukarela
            Disisi lain Lucian W. Pye mengartikan civic culture sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya mempunyai tingkat pengetahuan yang memadai bagaimana suatu pemerintahan dan proses politik berlangsung. Pemahaman tersebut disertai dengan sikap positif dan respek terhadap pandangan politik orang lain, rasa saling percaya, serta keinginan bekerjasama untuk mencapai tujuan.[7]
6. sosialisasi politik
Menurut Rachman (2006) menjelaskan dari pengertian sosialisasi Politik berasal dari dua kata yaitu Sosialisasi dan Politik. Sosialisasi berarti pemasyarakatan dan Politik berarti urusan negara. Jadi secara etimologis Sosialisasi Politik adalah pemasyarakatan urusan negara. Urusan Negara yang dimaksud adalah semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan menurut Michael Rush dan Phillip Althoff menjelaskan Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik juga sarana bagi suatu suatu generasi untuk mewariskan keyakinan-keyakinan politiknya kepada generasi sesudahnya. Sosialisasi politik ini merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan dan memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya[8].
Sosialisasi politik mempunyai tujuan menumbuh kembangkan serta menguatkan sikap politik dikalangan masyarakat (penduduk) secara umum (menyeluruh), atau bagian-bagian dari penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administrative, judicial tertentu.
Menurut Hyman dalam buku panduan Rusnaini (2008) sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes dan dimediai oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik.
Agen-agen Sosialisasi Politik
Menurut Tischler (1999) yang menjadi agen atau perantara dalam proses sosialisasi meliputi :
1. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi seorang anak untuk tumbuh dan berkembang.keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur social yang lebih luas, dengan pengertian bahwa lembaga lainya tergantung pada eksistensinya. Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti.

2. Teman Pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
3. Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab. Sehingga sekolah dirasa sebagai tempat yang cukup efektif dalam mendidik seorang anak untuk memupuk rasa tanggung jawab untuk kewajiban dan haknya.
4. Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
5. Pemerintah
Pemerintah merupakan agen sosialisasi politik secondary group. Pemerintah merupakan agen yang punya kepentingan langsung atas sosialisasi politik. Pemerintah yang menjalankan sistem politik dan stabilitasnya. Pemerintah biasanya melibatkan diri dalam politik pendidikan, di mana beberapa mata pelajaran ditujukan untuk memperkenalkan siswa kepada sistem politik negara, pemimpin, lagu kebangsaan, dan sejenisnya. Pemerintah juga, secara tidak langsung, melakukan sosialisasi politik melalui tindakan-tindakannya. Melalui tindakan pemerintah, orientasi afektif individu bisa terpengaruh dan ini mempengaruhi budaya politiknya.

6. Partai Politik
Partai politik adalah agen sosialisasi politik secondary group. Partai politik biasanya membawakan kepentingan nilai spesifik dari warga negara, seperti agama, kebudayaan, keadilan, nasionalisme, dan sejenisnya. Melalui partai politik dan kegiatannya, individu dapat mengetahui kegiatan politik di negara, pemimpin-pemimpin baru, dan kebijakan-kebijakan yang ada.
7. Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.
Selain itu, sosialisasi politik juga ditentukan oleh faktor interaksi pengalaman-pengalaman seseorang dalam keluarga, tempat tinggal, pendidikan dan pergaulannya. Karena hal ini yang sangat berperan membentuk karakter anak untuk dewasa nantinya[9].










III. Kesimpulan
            Kebudayaan politik tidak lain adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Dalam kedudukannya sebagai suatu subkultur, kebudayaan politik itu dipengaruhi oleh budaya masyarakat secara umum. Didalam suatu kebudayaan politik masyarakat terdapat beberapa sistem yaitu: Budaya politik parokial (parochial political culture), Budaya politik kaula/subjek (subject political culture), Budaya politik partisipan (participant political culture), dan Budaya politik campuran (mixed political cultures), yang memengaruhi Civic Culture (budaya politik kewarganegaraan) masyarakat itu sendiri yang berdampak pada tingkah laku masyarakat dalam politik “behavioral”.
            Suatu kebudayaan politik tidak lepas dari . Political Pluralism (pluralisme politik) yaitu keberagaman dalam melaksanakan tingkah laku politik. Pluralisme politik itu sendiri hadir karena hasil dari kebudayaan politik. Dan pluralisme politik dapat menghasilkan suatu Political Cleavage (perpecahan dalam politik). Dalam hal ini masyarakat membutuhkan toleransi dalam tingkah laku berpolitik. Toleransi adalah instrument spiritual demokrasi yang dapat menjadi perekat agar perbedaan-perbedaan tidak mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.
            Dengan demikian kehadiran pluralisme dan toleransi akan memelihara dan mengembangkan pemikiran dan gagasan yang bersumber dari kebudayaan politik suatu masyarakat yamg dapat meningkatkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat sehingga dilakukan secara adil, beradab dan demokratis.
            Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik juga sarana bagi suatu suatu generasi untuk mewariskan keyakinan-keyakinan politiknya kepada generasi sesudahnya. Sosialisasi politik ini merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan dan memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya










[1] Pye, L. (1995) 'Politik Budaya' di Encyclopedia Democracy, ed. S. Lipset.  (London and New York:Routledge) hal .965-9.
[2] Dennis Kavanagh, Political C ulture, London: The Macmillan Press, Ltd., hlm. 12.
[3] Easton, Dalam Mohtar Mas’oed, Op. Cit., hlm. 9.
[4] Gabriel Almond. 1974.”Sosialisasi, kebudayaan, dan partisipasi politik”. Dalam Mohtar Mas’Oed dan Collin MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm, 41-42
[5] Hebdige 1981
[6] Almond, sebagaimana dikutip oleh Kantaprawira, Ibid., hlm. 35. Untuk pembahasan budaya politik di Indonesia secara lebih detil dan kritis baca pula misalnya. Clarre Holt, Benedict Anderson, and James T. Siegel, 1972. Political Culture in Indonesia, Ithaca, New York: Comell University Press.
[7] Pye, Lucian; Democracy and Its Enemies; dalam Hoffield, James F & Jillsan, Calvin; Path Ways to Democracy: The Political Economy of Democratic Transition; Routledge,Great Britain, 2000
[8] yang dikutip dari http://setabasri01.blogspot.com diakses tanggal 4 nov 2010
[9] dikutip dari http://tentangkomputerkita.blogspot.com/ diakses tanggal 4 nov 2010

No comments:

Post a Comment